Jumat, 15 Mei 2015

Obrolan di Gazebo




“Permisi Kek, boleh saya temani duduk di sini ?”
Kakek itu tersenyum sembari tangannya mempersilahkan Dimas duduk. Udara sejuk pagi itu, hujan semalam membuat daun-daun di taman ini basah.

“Kamu sedang apa di sini? Masuk lah”
“Cari angin saja Kek, Kakek kenapa di luar ?”

Lelaki tujuh puluhan tahun itu diam saja. Angin sejuk menyusup gazebo kecil yang berada di tengah taman rumah sakit itu. Lalu lalang kesibukkan perawat dan dokter yang menangani pasien terlihat di lorong. Beberapa orang yang hendak menjenguk sanak keluarga yang dirawat. Ada pula yang terisak menangis. Pemandangan yang tak mengenakkan mata.

“Kamar kakek di sebelah mana?” tanya Dimas
Kakek menoleh, tangannya menunjuk bangunan di sebelah kiri gazebo, bangsal Wijaya Kusuma.

“Di sini dingin Kek, apa tidak sebaiknya Kakek masuk ke kamar saja, saya antar ya Kek.”
Kakek itu menggeleng, matanya memandang jauh ke depan.
“Di kamar sepi. Di sini bisa lihat pemandangan. Kamu masuk lah.”
“Baiklah, saya temani Kakek sebentar lagi.”

Di lorong terlihat seorang wanita paruh baya, memakai baju warna merah bata, jilbab warna senada, lelah terlihat dari raut mukanya. Wanita itu berjalan menuju bangunan yang berada di sebelah kanan gazebo.

“Kamu kenal dengan wanita itu?”
Dimas mengangguk, “Ibu saya.”
“Masuk lah, dia pasti cemas dan ingin segera melihat mu sehat.”

Dimas beringsut, perlahan menuju bangsal tempatnya dirawat. Tidak lama, seorang perawat menghampiri Kakek itu dengan mendorong kursi roda. Setelah dibujuk, akhirnya Kakek itu mau kembali ke kamarnya.  
*8*

Dimas pergi lagi ke gazebo itu. Kakek yang kemarin berada di sana tidak ditemuinya. Ada niatan dia untuk pergi ke bangsal tempat Kakek itu dirawat namun niat itu ia urungkan. Dimas pun duduk sendiri di gazebo menikmati sore. Pemandangan rumah sakit sore itu tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Perawat dan dokter yang lalu lalang, sesekali berlarian. Mungkin ada pasien yang emergency untuk mendapat penanganan segera. Di sisi lain, pasien dengan kursi roda yang mungkin bosan dengan suasana kamar sehingga keluar sejenak.

Cukup lama Dimas duduk termenung di gazebo itu, menunggu barangkali bisa bertemu dengan Kakek itu lagi. Namun, sepertinya Kakek itu tidak akan pergi ke gazebo itu. Dia memandangi bangunan tempat Kakek itu dirawat. Dokter berlari disusul dua perawat di belakangnya.

*8*

Tiga hari sudah Dimas tidak melihat Kakek itu. Ada niat untuk mencoba mencari tahu ke bangsal tempat Kakek itu. Namun, niatan itu ia urungkan. Dia memilih menunggu di gazebo .

“Kamu masih di sini?” suara parau dari arah belakang mengejutkan Dimas
“Dari kemarin saya tidak melihat Kakek ke sini.”

Kakek itu tidak menjawab, hanya membalas dengan senyuman lalu duduk di samping Dimas.
“Siapa yang menunggui Kakek?”

Lagi-lagi, Kakek itu tidak menjawab. Masih memandang bunga yang bermekaran di sekitaran bangsal Anggrek. Dimas tidak berani bertanya lagi.
“Ibu mu masih di sini ?”
“Masih, dia hanya pulang sebentar untuk ganti pakaian lalu akan ke sini lagi.”
“Kamu berapa bersaudara?”
“Cuma saya anak ibu satu-satunya.”

Salah satu perawat tiba-tiba datang menghampiri
“Bapak, di sini dingin, bapak sebaiknya kembali ke kamar, mari saya bantu.” Ajak perawat pada Kakek
“Sebentar sus, saya masih ingin menikmati udara luar.”

Berbagai argument perawat itu ajukan untuk mengajak Kakek kembali ke kamarnya. Namun, usahanya gagal. Akhirnya, perawat itu hanya meninggalkan kursi roda yang di bawanya tadi di dekat Kakek dan berjanji akan kembali lima belas menit lagi, seperti persayaratan yang Kakek ajukan.

“Kek, kalau saya perhatikan, sepertinya Kakek dikenal baik di rumah sakit ini?”
“Kenapa kamu tanyakan seperti itu?l”
“Semua dokter dan perawat serta pegawai yang lain setiap bertemu atau melihat Kakek pasti akan tersenyum dan mengangguk. Apa Kakek orang terkenal ?”

Kakek justru tertawa “Kamu itu tahu apa? Anak muda yang hanya bisa bikin ibumu kelelahan bolak-balik ke sini.”

Dimas manyun merasa tersinggung atas ucapan Kakek.
Memang anak Kakek kemana ?”
“Mereka sedang mengejar impian mereka.”
“Apa mereka tidak punya waktu untuk ke sini menjenguk Kakek ?”
“Ketahuilah, sebanyak apapun anak yang dipunya, orang tua masih bisa merawat dan menjaga anak-anaknya. Akan tetapi terkadang, meskipun banyak anak dipunya, belum tentu ada yang mampu merawat orang tuanya.”

Dimas menggaruk kepalanya, tidak mengerti dengan ucapan Kakek barusan.

Perawat itu datang lagi untuk mengajak Kakek untuk kembali ke kamar.
“Mari pak, saya bantu kembali ke kamar. Bapak masih harus banyak istirahat.”

Kakek mengangguk, lalu duduk di kursi roda yang sudah perawat itu siapkan tadi. Perawat itu lalu mendorongnya. Akan tetapi baru berapa langkah perawat itu mendorongnya, Kakek itu menyuruhnya berhenti.
“Masuklah, jangan buat ulah lagi. Jangan buat sedih dia karena ulahmu anak muda.”
“Bapak bicara apa?” tanya perawat
“Tidak apa, antar saya kembali ke kamar.”
“Baik pak, rumah sakit ini semakin maju, berkat kepemimpinan bapak.” Perawat itu kembali mendorong kursi rodanya sembari mengajak ngobrol Kakek.
“Apalah arti semua ini, jika di hari tuaku aku sendirian, bahkan di kala sakit seperti sekarang.”

Dimas termenung, dilihatnya ibunya yang baru saja datang. Tadi setelah subuh ibunya pulang sebentar untuk berganti pakaian dan mengecek keadaan rumah. Sudah seminggu ibunya mengambil cuti dari pekerjaannya untuk menunggui Dimas di rumah sakit.

Di kamar, seorang perempuan dengan pakaian serba hijau berdiri di samping tempat tidur Dimas. Dengan suara lirih perempuan itu membacakan ayat-ayat Al- Qur’an sembari tangan kanannya menggenggam tangan anak lelakinya yang sudah seminggu ini tidak bergerak – koma karena kecelakaan saat kebut-kebutan bersama teman-temannya.














8 komentar: