http://www.businessdanmark.dk/ |
“Tuh liat, tumben dia baru pulang
jam segini.” Marni yang selesai menyapu lalu menghampiri Tinah, memanyunkan
bibirnya menunjuk Mia yang baru pulang.
“Baru pulang Mi? Kelarisan
kayaknya semalam ya?” sapa Tinah pada Mia dengan nada sinis.
“Saya masuk dulu mbak, mari.” Mia
hanya menanggapi dengan senyum. Sudah terbiasa bahkan sudah kebal dirinya
melihat kelakuan tetangga kontrakannya itu.
Direbahkan badannya di kasur yang
ia beli dua yang tahun yang lalu, ketika ia nekat datang ke kota ini untuk
mengubah nasibnya. Bedak tebal dan lipstik merah masih menempel di wajahnya.
Tak berapa lama ia pun tertidur.
“Kamu mau kerja apa di kota ?”
“Aku punya temen di kota, Mak.
Dia nanti bisa bantu cari kerja. Biar kita nggak hidup seperti ini terus Mak.
Dihina orang.”
Gadis delapan belas tahun itu
mantap melangkahkan kakinya ke kota, meninggalkan bapak dan emak di kampung.
Apalagi yang dicari selain uang yang berlimpah untuk perubahan nasib.
_
Alarm handphone berbunyi, pukul
sebelas lebih lima belas menit. Mia beringsut
dari kasurnya, mengambil kapas untuk menghapus riasan di wajahnya. Badannya
terasa lelah sangat hari ini, kepalanya terasa begitu berat.
Demi lembaran ratusan ribu yang
menghidupinya, Mia telah menjalani pekerjaan ini hampir lebih dari setahun. Setelah
ia kabur dari majikannya. Ya, Mia bekerja sebagai pembantu rumah tangga
sebelumnya. Berbekal ijazah SMP hanya itulah pekerjaan yang didapatnya. Semua
berubah ketika Mia bertemu dengan Bagus. Dialah yang membawanya ke pekerjaan
yang sekarang ini.
Rutinitas setiap harinya setelah
beres merapikan diri , Mia menuju warteg yang tidak jauh dari tempat
kontrakannya. Mengisi perut, walaupun dengan berjalan menujuu tempat itu dia
akan bertemu dengan Marni, tetangganya sekaligus penjual warteg yang akan
membuatnya selalu menahan nafas dan menebalkan kupingnya untuk menghadapi
segala cibirannya.
“Kok kayaknya kecapekan Mi?”
“Nggak apa mbak, mungkin karena
belum makan. Ada menu apa mbak hari ini?”
“Capek karena banyak yang beli.
Yang penting duitnya kumpul. Iya kan Mi ?”
Mia hanya tersenyum, mencoba
bersikap sopan pada Marni, sambil memilih- milih lauk yang akan dia bawa
pulang.
“Mbak ini semua berapa ?” Mia
menunjukkan plastic yang berisi lauk yang dipilihnya.
“ Semua jadi 22.000 Mi.”
Mia mengeluarkan selembar dua
puluh ribuan dan selembar lima ribuan. Lalu menerahkan ke Marni.
“Aduuhh…”
“Kenapa mbak ? “Mia kaget melihat
reaksi Marni begitu menerima uang darinya.
“Ahh..nggak apa Mi, tadi kok
rasanya uangnya berasa kaya panas.” Tukas Marni sambil menyerahkan uang
kembalian.
“Makasih mbak. Saya permisi
dulu.”
Mia tak menghiraukan segala
omongan pedas Marni. Entah sudah berapa macam dan berapa kali Marni mencibirnya
ketika dia menerima uang dari Mia.
_
Menjelang malam, Mia bersiap
untuk bekerja. Dipoleskannya bedak dan perona pipi. Tak lupa lipstick merah sebagai pemulas bibirnya.
Dalam keremang-remangan tempat,
di sanalah Mia memungut lembaran rupiah demi rupiah. Menemani lelaki-lelaki
yang mencari kesenangan versi mereka dalam lantunan lagu dan minuman beraroma
menusuk.
Ruangan karaoke itu menjadi
ladangnya untuk mengais rejeki. Jam kerjanya pun tergantung berapa orang yang
ingin dia temani dan berapa lama. Duit
haram ? Dalam pikiran Mia, jika mendapat uang halal harus dengan disiksa
majikan dan hampir saja nyawanya melayang maka dia lebih memilih pekerjaannya
yang sekarang.
Sudah ia tinggalkan jauh rasa
malu. Dan sudah ia tebalkan kupingnya dari segala cibiran orang lain. Dalam
hidupnya orang lain hanya akan terus mencari celah untuk menemukan hal yang bisa
menjadi bahan cibiran.
Malam ini tak banyak pengunjung
yang harus ia temani. Artinya tak banyak pula uang yang masuk ke dompetnya.
Setengah dua malam Mia melangkahkan kakinya keluar dari tempat karaoke.
_
“Mi….mi…tolong bukakan pintu.”
terdengar suara Marni menggedor-gedor pintu
Mia beringsut dari kasur,
dilihatnya jam dinding. Satu-satunya hiasan yang menempel di tembok
kontarakannya. Setengah lima pagi.
“Kenapa mbak ?”
“Tolong aku Mi…tolong…” suara
Marni terbata-bata dengan raut muka ketakutan.
“Mbak yang tenang dulu, kenapa?”
“Mas Darso…Mi…Mas Darso.”
“iya kenapa dengan Mas Darso?”
“Bukan Mas Darso yang kenapa-kenapa.
Tapi Istrinya Mas Darso nyariin aku. Dia sekarang ada di warteg.”
“Lohh…jadi Mbak sebenarnya?”
“Aku numpang ngumpet di sini dulu
ya Mi. Nanti kalau ada perempuan nyari aku. Bilang aja kamu nggak tahu.”
Belum sempat Mia mengiyakan,
Marni langsung saja nyelonong masuk. Mia segera menutup pintunya. Mematikan
lampu ruang tamu. Marni memilih bersembunyi di dalam kamar. Mia mengambil
segelas air putih untuk Marni yang nampak ketakutan.
“Padahal kipas anginnya sudah aku
nyalain kok udaranya masih panas ya. Mbak kepanasan nggak ?”
Marni hanya terdiam.
SKAKMAT
Saya suka ceritanya... :)
BalasHapusmakasih byak pak pical sudah mampir baca ^^
Hapustajem euy,... hmmmm membuat tersenyum.
BalasHapuswkwkwk udah iasah ya mbak etha? ko tajem :D makasih ya sudah mampir ^^
HapusHihihi... kapok...
BalasHapushahahhaha pisan2 tant..
Hapusada yang mau jadi pelakunya, semoga segera dibuka pendaftarannya
BalasHapuswahhhhhhh syarat2nya apa aja tuh pak..#eh
BalasHapusmakasih ya pak sudah mampir baca corat coret saya
lumayan menarik mba ceritanya, terimakasih banyak...
BalasHapus