Jumat, 29 Mei 2015

Skakmat

http://www.businessdanmark.dk/

“Tuh liat, tumben dia baru pulang jam segini.” Marni yang selesai menyapu lalu menghampiri Tinah, memanyunkan bibirnya menunjuk Mia yang baru pulang. 
“Baru pulang Mi? Kelarisan kayaknya semalam ya?” sapa Tinah pada Mia dengan nada sinis.
“Saya masuk dulu mbak, mari.” Mia hanya menanggapi dengan senyum. Sudah terbiasa bahkan sudah kebal dirinya melihat kelakuan tetangga kontrakannya itu.

Direbahkan badannya di kasur yang ia beli dua yang tahun yang lalu, ketika ia nekat datang ke kota ini untuk mengubah nasibnya. Bedak tebal dan lipstik merah masih menempel di wajahnya. Tak berapa lama ia pun tertidur.



_

“Kamu mau kerja apa di kota ?”
“Aku punya temen di kota, Mak. Dia nanti bisa bantu cari kerja. Biar kita nggak hidup seperti ini terus Mak. Dihina orang.”
Gadis delapan belas tahun itu mantap melangkahkan kakinya ke kota, meninggalkan bapak dan emak di kampung. Apalagi yang dicari selain uang yang berlimpah untuk perubahan nasib.
_

Alarm handphone berbunyi, pukul sebelas lebih lima belas menit.  Mia beringsut dari kasurnya, mengambil kapas untuk menghapus riasan di wajahnya. Badannya terasa lelah sangat hari ini, kepalanya terasa begitu berat.

Demi lembaran ratusan ribu yang menghidupinya, Mia telah menjalani pekerjaan ini hampir lebih dari setahun. Setelah ia kabur dari majikannya. Ya, Mia bekerja sebagai pembantu rumah tangga sebelumnya. Berbekal ijazah SMP hanya itulah pekerjaan yang didapatnya. Semua berubah ketika Mia bertemu dengan Bagus. Dialah yang membawanya ke pekerjaan yang sekarang ini.

Rutinitas setiap harinya setelah beres merapikan diri , Mia menuju warteg yang tidak jauh dari tempat kontrakannya. Mengisi perut, walaupun dengan berjalan menujuu tempat itu dia akan bertemu dengan Marni, tetangganya sekaligus penjual warteg yang akan membuatnya selalu menahan nafas dan menebalkan kupingnya untuk menghadapi segala cibirannya.
“Kok kayaknya kecapekan Mi?”
“Nggak apa mbak, mungkin karena belum makan. Ada menu apa mbak hari ini?”
“Capek karena banyak yang beli. Yang penting duitnya kumpul. Iya kan Mi ?”

Mia hanya tersenyum, mencoba bersikap sopan pada Marni, sambil memilih- milih lauk yang akan dia bawa pulang.
“Mbak ini semua berapa ?” Mia menunjukkan plastic yang berisi lauk yang dipilihnya.
“ Semua jadi 22.000 Mi.”
Mia mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dan selembar lima ribuan. Lalu menerahkan ke Marni.
“Aduuhh…”
“Kenapa mbak ? “Mia kaget melihat reaksi Marni begitu menerima uang darinya.
“Ahh..nggak apa Mi, tadi kok rasanya uangnya berasa kaya panas.” Tukas Marni sambil menyerahkan uang kembalian.
“Makasih mbak. Saya permisi dulu.”
Mia tak menghiraukan segala omongan pedas Marni. Entah sudah berapa macam dan berapa kali Marni mencibirnya ketika dia menerima uang dari Mia. 
_

Menjelang malam, Mia bersiap untuk bekerja. Dipoleskannya bedak dan perona pipi. Tak lupa lipstick  merah sebagai pemulas bibirnya.

Dalam keremang-remangan tempat, di sanalah Mia memungut lembaran rupiah demi rupiah. Menemani lelaki-lelaki yang mencari kesenangan versi mereka dalam lantunan lagu dan minuman beraroma menusuk.

Ruangan karaoke itu menjadi ladangnya untuk mengais rejeki. Jam kerjanya pun tergantung berapa orang yang ingin dia temani  dan berapa lama. Duit haram ? Dalam pikiran Mia, jika mendapat uang halal harus dengan disiksa majikan dan hampir saja nyawanya melayang maka dia lebih memilih pekerjaannya yang sekarang.

Sudah ia tinggalkan jauh rasa malu. Dan sudah ia tebalkan kupingnya dari segala cibiran orang lain. Dalam hidupnya orang lain hanya akan terus mencari celah untuk menemukan hal yang bisa menjadi bahan cibiran.

Malam ini tak banyak pengunjung yang harus ia temani. Artinya tak banyak pula uang yang masuk ke dompetnya. Setengah dua malam Mia melangkahkan kakinya keluar dari tempat karaoke.
_

“Mi….mi…tolong bukakan pintu.” terdengar suara Marni menggedor-gedor pintu

Mia beringsut dari kasur, dilihatnya jam dinding. Satu-satunya hiasan yang menempel di tembok kontarakannya. Setengah lima pagi.
“Kenapa mbak ?”
“Tolong aku Mi…tolong…” suara Marni terbata-bata dengan raut muka ketakutan.
“Mbak yang tenang dulu, kenapa?”
“Mas Darso…Mi…Mas Darso.”
“iya kenapa dengan Mas Darso?”
“Bukan Mas Darso yang kenapa-kenapa. Tapi Istrinya Mas Darso nyariin aku. Dia sekarang ada di warteg.”
“Lohh…jadi Mbak sebenarnya?”
“Aku numpang ngumpet di sini dulu ya Mi. Nanti kalau ada perempuan nyari aku. Bilang aja kamu nggak tahu.”

Belum sempat Mia mengiyakan, Marni langsung saja nyelonong masuk. Mia segera menutup pintunya. Mematikan lampu ruang tamu. Marni memilih bersembunyi di dalam kamar. Mia mengambil segelas air putih untuk Marni yang nampak ketakutan.
“Padahal kipas anginnya sudah aku nyalain kok udaranya masih panas ya. Mbak kepanasan nggak ?”
Marni hanya terdiam.

SKAKMAT




9 komentar:

  1. Balasan
    1. makasih byak pak pical sudah mampir baca ^^

      Hapus
  2. tajem euy,... hmmmm membuat tersenyum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwk udah iasah ya mbak etha? ko tajem :D makasih ya sudah mampir ^^

      Hapus
  3. ada yang mau jadi pelakunya, semoga segera dibuka pendaftarannya

    BalasHapus
  4. wahhhhhhh syarat2nya apa aja tuh pak..#eh

    makasih ya pak sudah mampir baca corat coret saya

    BalasHapus
  5. lumayan menarik mba ceritanya, terimakasih banyak...

    BalasHapus