Waktu itu sudah lepas dari pagi
namun matahari belum terlalu terik. Musim kemarau sudah separuh perjalanan. Aku
berdiri diantara kerumunan orang, sibuk dengan duniaku. Lalu entah kau berjalan
dari mana, kau berhenti tepat di depanku. Mengulurkan tanganmu. Tak ada satu
kata yang kau ucapkan. Bingung. Apa yang kau inginkan waktu itu.
“Hei, salam kenal saya Adisty.”
Ucapku setelah menerima uluran tanganmu.
“Terima kasih, salam kenal juga.
Saya Raka.” Lengkungan bibir nampak di wajahmu. Tersenyum.
Angin kemarau yang dingin seakan
tak segan menerpa raga. Kau memilih duduk yang berjarak dengan ku. Hanya itu.
Lalu aku dan kau kembali dengan urusan kita masing-masing. Aku tak curiga apa
maksudmu menghampiriku. Yang menjadi pertanyaan, kenapa harus aku? Dari banyak
orang yang lalu lalang diantara kita.
“Suka foto ?” tanyaku setelah
menoleh ku lihat kau sibuk dengan kamera yang kau arahkan ke atas.
“Lumayan.” Jawabmu singkat
“Di tempat ini bagus kalau mau
memfoto matahari senja. Coba saja datang sore hari”
“Suka ke tempat ini?”
Aku menggeleng. “Saya suka
suasana sore hari, senja.”
“Ah..sama. Senja memang selalu
cantik. Menenangkan. Siapapun pasti menyukainya”
Aku mengangguk mantap tanda
menyetujui kata-katamu.
_
Kemarau terus berlalu. Mengantar menuju
bulan Ramadhan yang bertabur pertandingan sepak bola.
“Baiklah kita lihat saja tim
siapa yang bakal menang.” Tantang mu di tempat yang didominasi warna putih itu.
“ Siapa takut.”
Ajang sepak bola empat tahunan
itu menjadi fokus kita. Tentulah kita menjagokan tim kita masing-masing.
Menginginkan tim kita yang menang. Yang jelas berbeda.
_
Kemarau ternyata begitu cepat
melesat. Mengundurkan diri lalu mempersilakan hujan menggantinya. Separuh
perjalanan musim ini aku lalui sudah. Agak terasa lama. Sesekali dihinggapi pertanyaan,
apakah kau melihat senja sore ini? di sini hujan, mendung hitam.
Di separuh musim hujan ini aku
melihatmu. Lagi. Apa yang kau lakukan duduk sendiri di tempat itu? Aku hanya
mengamati dari kejauhan. Tak ada senja hari ini. Untuk apa kau duduk di sana?
Ketika aku sudah memastikan tak
ada senja merah hari itu, aku melangkah, membawa kakiku menuju tempat yang di
dominasi warna putih itu. Terhenti aku di depan pintu. Ragu untuk mengetuk.
Satu kali. Dua kali.
“Hei, apa kabar ?” sapa ku
seketika setelah ku pastikan pintu itu tak terkunci.
“Baik.” Reaksimu sedikit terkejut
dengan kedatanganku.
Memori singkat musim lalu
ternyata mampu mencairkan suasana. Rasa canggung yang awalnya menjadi seperti
tembok, perlahan mencair.
_
Kini sepertinya terulang, kemarau
menghiasi Ramadhan kembali. Angin kering dan dingin itu semakin sering
berhembus.
“Kau tahu aku suka barat?”
“Iya, karena di sana ada senja.”
“Coba kau lihat itu.” tanganku menunjuk ke arah dua bintang yang
tak berjauhan di langit sebelah barat.
Cuaca yang cerah, membuat langit
malam terlihat bersih dari awan. Jutaan bintang terpampang. Ada yang menarik
perhatianku.
“Awal Ramadhan kemarin, dua bintang
itu berdekatan dengan bulan. sabit, bulan baru. Dari yang aku baca, itu bukan
bintang. Tapi planet. Venus dan Jupiter.”
“Lalu kenapa ?”
“Seiring dengan berjalannya hari,
paling tidak sampai malam ini, bulan bergerak semakin ke timur. Sementara kedua
bintang itu tetap di sana, dari awal aku lihat justru malah mereka semakin
berdekatan. Lihat saja sekarang.”
“Apa mungkin kedua bintang itu
akan semakin menjauh nantinya?”
“Mungkin saja, berjauhan-
berdekatan lagi. Bukankah kemarau dan hujan selalu kembali berulang –ulang ?
Siklus alam. Lingkaran yang tak akan ada hentinya sampai ada yang memutuskan
siklus itu.”
“Siapa?”
Aku mendongak ke atas. Kau
mengangguk, tahu apa maksudku. Lalu aku dan kau terhanyut dalam udara malam.
Kau yang duduk di sampingku. Masih berjarak meski tak sejauh dulu, terus
memandang kedua bintang itu. Sesekali kepalamu kau miringkan ke kiri lalu ke
kanan.
“Terima kasih untuk dua musim yang telah berlalu. Terima kasih kau telah
mendatangi ku dan bukan yang lain di kerumunan itu. Terima kasih telah kembali
di separuh musim hujan kemarin. Terima kasih.”ucapku dalam hati seraya
memandang wajahmu dari samping.
“Kau mau menemaniku melihat
bintang itu di musim-musim mendatang ?”
“Tentu saja.”
“Mungkin kita harus cari tempat
yang lebih tinggi dari ini”
“Atap rumah ?” tawarku
“Hahahaha….boleh. Asal kau bisa
naik.”
“Aku pastikan aku akan sampai
lebih dulu.”
Tawamu pecah mendengar ucapanku.
“Kau yakin ?”
Aku mengangguk seraya tersenyum.
Kau lalu mengacungkan jempol kananmu.
“Jika musim ini sudah berganti
lagi, musim hujan. Mungkin kita tidak bisa melihat mereka lagi, atau paling
tidak mereka tidak akan berada di sana kala itu.” Kau masih enggan melepas
tatapanmu dari kedua bintang itu.
“Tapi kita masih bisa melihat
pelangi, mencium aroma tanah basah. Mendengar nyanyian kodok.”
“Sesuatu memang ada masa-nya
masing-masing.”
“Iya, seperti kali ini. Ini
masanya kita bisa menikmati langit malam yang cerah dengan jutaan bintang
terpampang. Kita tinggal menunggu kapan masa itu akan datang saja. ”
Musim kemarau kali ini aku tak
peduli akan berjalan cepat atau lambat. Dua musim terlampaui. Masih akan terus
datang musim ini bergantian, ketika masanya tiba.
nice post
BalasHapusterima kasih bapak sudah berkenan mampir
HapusCiiyeee miksi lageeee.. Kirain semusimmmm.. :D
BalasHapuskalo semusim ntar kaya Marcel...:D
Hapussuka tulsalam
BalasHapuswww.aralsnote.com
www.rasamoeda.blogspot.comisannya mba :D
terimaka kasih :)
HapusIlustrasinya dokpri ya Mbak?
BalasHapushahahhaha tau aja sih mas Ryan :v
Hapuscek cek =(
BalasHapus