Rabu, 01 Juli 2015

Dua Musim


Waktu itu sudah lepas dari pagi namun matahari belum terlalu terik. Musim kemarau sudah separuh perjalanan. Aku berdiri diantara kerumunan orang, sibuk dengan duniaku. Lalu entah kau berjalan dari mana, kau berhenti tepat di depanku. Mengulurkan tanganmu. Tak ada satu kata yang kau ucapkan. Bingung. Apa yang kau inginkan waktu itu.

“Hei, salam kenal saya Adisty.” Ucapku setelah menerima uluran tanganmu.
“Terima kasih, salam kenal juga. Saya Raka.” Lengkungan bibir nampak di wajahmu. Tersenyum.


Angin kemarau yang dingin seakan tak segan menerpa raga. Kau memilih duduk yang berjarak dengan ku. Hanya itu. Lalu aku dan kau kembali dengan urusan kita masing-masing. Aku tak curiga apa maksudmu menghampiriku. Yang menjadi pertanyaan, kenapa harus aku? Dari banyak orang yang lalu lalang diantara kita.

“Suka foto ?” tanyaku setelah menoleh ku lihat kau sibuk dengan kamera yang kau arahkan ke atas.
“Lumayan.” Jawabmu singkat
“Di tempat ini bagus kalau mau memfoto matahari senja. Coba saja datang sore hari”
“Suka ke tempat ini?”
Aku menggeleng. “Saya suka suasana sore hari, senja.”
“Ah..sama. Senja memang selalu cantik. Menenangkan. Siapapun pasti menyukainya”
Aku mengangguk mantap tanda menyetujui kata-katamu.
_

Kemarau terus berlalu. Mengantar menuju bulan Ramadhan yang bertabur pertandingan sepak bola.
“Baiklah kita lihat saja tim siapa yang bakal menang.” Tantang mu di tempat yang didominasi warna putih itu.
“ Siapa takut.”
Ajang sepak bola empat tahunan itu menjadi fokus kita. Tentulah kita menjagokan tim kita masing-masing. Menginginkan tim kita yang menang. Yang jelas berbeda.
_

Kemarau ternyata begitu cepat melesat. Mengundurkan diri lalu mempersilakan hujan menggantinya. Separuh perjalanan musim ini aku lalui sudah. Agak terasa lama. Sesekali dihinggapi pertanyaan, apakah kau melihat senja sore ini? di sini hujan, mendung hitam.

Di separuh musim hujan ini aku melihatmu. Lagi. Apa yang kau lakukan duduk sendiri di tempat itu? Aku hanya mengamati dari kejauhan. Tak ada senja hari ini. Untuk apa kau duduk di sana?

Ketika aku sudah memastikan tak ada senja merah hari itu, aku melangkah, membawa kakiku menuju tempat yang di dominasi warna putih itu. Terhenti aku di depan pintu. Ragu untuk mengetuk. Satu kali. Dua kali.
“Hei, apa kabar ?” sapa ku seketika setelah ku pastikan pintu itu tak terkunci.
“Baik.” Reaksimu sedikit terkejut dengan kedatanganku.

Memori singkat musim lalu ternyata mampu mencairkan suasana. Rasa canggung yang awalnya menjadi seperti tembok, perlahan mencair.
_

Kini sepertinya terulang, kemarau menghiasi Ramadhan kembali. Angin kering dan dingin itu semakin sering berhembus.
“Kau tahu aku suka barat?”
“Iya, karena di sana ada senja.”
“Coba kau lihat itu.”  tanganku menunjuk ke arah dua bintang yang tak berjauhan di langit sebelah barat.

Cuaca yang cerah, membuat langit malam terlihat bersih dari awan. Jutaan bintang terpampang. Ada yang menarik perhatianku.

“Awal Ramadhan kemarin, dua bintang itu berdekatan dengan bulan. sabit, bulan baru. Dari yang aku baca, itu bukan bintang. Tapi planet. Venus dan Jupiter.”
“Lalu kenapa ?”
“Seiring dengan berjalannya hari, paling tidak sampai malam ini, bulan bergerak semakin ke timur. Sementara kedua bintang itu tetap di sana, dari awal aku lihat justru malah mereka semakin berdekatan. Lihat saja sekarang.”
“Apa mungkin kedua bintang itu akan semakin menjauh nantinya?”
“Mungkin saja, berjauhan- berdekatan lagi. Bukankah kemarau dan hujan selalu kembali berulang –ulang ? Siklus alam. Lingkaran yang tak akan ada hentinya sampai ada yang memutuskan siklus itu.”
“Siapa?”

Aku mendongak ke atas. Kau mengangguk, tahu apa maksudku. Lalu aku dan kau terhanyut dalam udara malam. Kau yang duduk di sampingku. Masih berjarak meski tak sejauh dulu, terus memandang kedua bintang itu. Sesekali kepalamu kau miringkan ke kiri lalu ke kanan.

Terima kasih untuk dua musim yang telah berlalu. Terima kasih kau telah mendatangi ku dan bukan yang lain di kerumunan itu. Terima kasih telah kembali di separuh musim hujan kemarin. Terima kasih.”ucapku dalam hati seraya memandang wajahmu dari samping.

“Kau mau menemaniku melihat bintang itu di musim-musim mendatang ?”
“Tentu saja.”
“Mungkin kita harus cari tempat yang lebih tinggi dari ini”
“Atap rumah ?” tawarku
“Hahahaha….boleh. Asal kau bisa naik.”
“Aku pastikan aku akan sampai lebih dulu.”

Tawamu pecah mendengar ucapanku.

“Kau yakin ?”

Aku mengangguk seraya tersenyum. Kau lalu mengacungkan jempol kananmu.
“Jika musim ini sudah berganti lagi, musim hujan. Mungkin kita tidak bisa melihat mereka lagi, atau paling tidak mereka tidak akan berada di sana kala itu.” Kau masih enggan melepas tatapanmu dari kedua bintang itu.
“Tapi kita masih bisa melihat pelangi, mencium aroma tanah basah. Mendengar nyanyian kodok.”  
“Sesuatu memang ada masa-nya masing-masing.”
“Iya, seperti kali ini. Ini masanya kita bisa menikmati langit malam yang cerah dengan jutaan bintang terpampang. Kita tinggal menunggu kapan masa itu akan datang saja. ”

Musim kemarau kali ini aku tak peduli akan berjalan cepat atau lambat. Dua musim terlampaui. Masih akan terus datang musim ini bergantian, ketika masanya tiba.









9 komentar: