![]() |
Mbah Subar lincah memanjat pohon kelapa di usianya yang sudah tidak muda |
Siang itu
Mbah Subarkah, atau lebih sering dipanggil Mbah Subar lewat dekat rumah. Sambil
mengendarai sepeda dengan keranjang di belakang, penglihatan Mbah subar
masih”awas” untuk membedakan mana kelapa yang sudah tua dan yang belum. Ya,
lelaki itu bekerja sebagai pemetik kelapa. Lelaki dengan satu orang cucu itu
pernah berganti-ganti profesi. Mulai dari buka bengkel sepeda, usaha
penggergajian kayu, sampai akhirnya sekarang menjadi pemetik kelapa. jika dihitung,
mungkin sudah sekitar 15 tahunan Mbah Subar menekuni pekerjaan ini.
Setelah
ngobrol sebentar dengan bapak yang kebetulan sedang di depan rumah, Mbah Subar
bersama satu orang temannya (saya lupa tanya nama bapaknya) segera memanjat
naik pohon kelapa. Banyaknya kelapa yang didapat tentu tergantung banyaknya
pohon kelapa di satu lokasi yang didatanginya. Siang itu ada enam pohon kelapa
yang dipanjat Mbah Subar dan temannya. Rata-rata tinggi pohon kelapa di daerah
saya antara 6-7 meter.
![]() |
Memanjat di dua pohon yang berbeda |
Setelah
memanjat dua pohon, teman Mbah Subar mengumpulkan kelapa yang sudah jatuh.
Sementara Mbah Subar melanjutkan memanjat ke pohon lain. Herannya Mbah Subar
ini sudah berumur tujuh puluh tahunan, tapi masih lincah memanjat pohon.
Kakinya nampak lincah menaiki pijakan demi pijakan di pohon kelapa.
![]() |
kelapa tua yang sudah dipetik |
Setelah
semua kelapa yang sudah tua dipetik dan dikumpulkan, kelapa dikupas dari
kulitnya atau kalau di daerah saya disebut dengan “dislumbat” dengan
menggunakan linggis. Pada pengupasan ini, ada satu bagian kulit yang disisakan,
karena dengan begitu akan lebih mudah untuk memegang/mengambil kelapanya.
![]() |
"Nylumbat" adalah mengupas kulit buah kelapa dengan linggis |
![]() |
kelapa yang sudah dikupas |
Di
sela-sela mengupas kelapa itu, bapak, Mbah Subar dan temannya saling bercanda.
Bapak memang sudah kenal lama dengan Mbah Subar karena rumah Mbah Subar dan
rumah simbah berdekatan. Waktu saya mau memfoto waktu Mbah Subar duduk-duduk
sambil menunggu temannya selesai, Mbah subar menolak. “Wong elek kok difoto
barang” (orang jelek kok difoto segala) katanya. Jadilah hanya foto saat manjat
saja yang didapat. beberapa kelapa tua yang sudah dipetik Kelapa yang
sudah dikupas, kemudian dinaikkan ke motor yang dibawa teman Mbah Subar. Dulu
sebelum ada motor yang memiliki bak dibelakang itu, Mbah Subar biasanya
menggunakan keranjang untuk mengangkutnya ke rumah. Sekarang keranjangnya
hanya berisi linggis dan “arit” (sabit) saja.
![]() |
motor untuk mengangkut hasil |
Setiap
dua atau tiga hari sekali ada tengkulak yang datang ke rumahnya untuk mengambil
kelapa yang sudah terkumpul. Kelapa itu nantinya akan diangkut dan dijual ke
Solo, Klaten dan sekitarnya. Hasil hari lumayan, dari enam pohon, ada
sekitar empat puluh lima butir kelapa yang didapat. Satu butir kelapanya
dihargai Rp2500. Selesai dari satu lokasi Mbah Subar akan kembali
berkeliling. Biasanya nanti Mbah Subar akan balik lagi sekitar satu
sampai satu setengah bulan untuk mencari apakah ada kelapa yang sudah tua atau
belum. Dalam satu hari Mbah Subar bisa berpindah ke empat sampai lima lokasi.
Dari memetik kelapa dan menjualnya kembali inilah dapur Mbah Subar terus
"ngebul".
Kota Istimewa 27062016
reportasenya apik, mbak...
BalasHapusuhuui..makasih mas *salim
Hapussalut....orang dulu itu fisiknya bagus dan prima
BalasHapusbener bun avy. Orang dulu fisiknya memang lebih kuat.
HapusKeren foto-fotonya, salut sama kisah hidupnya Mbah Subar :)
BalasHapusmakasih ya ciin =D
Hapus