![]() |
kuliner123.com |
““Ini lho Pak, Bapak ulang tahun dibuatin nasi
kuning. Aku aja nggak kemarin pas ulang tahun.”
Kemarin yang
merupakan awal puasa bertepatan dengan hari lahir bapak. Enam Juni enam puluh
empat tahun yang lalu. Seperti biasa, tidak ada perayaan. Karena kata bapak,
ulang tahun itru justru mengingatkan kita kalau “jatah” kita di dunia semakin
berkurang. Masak malah mau dirayain? Ya itu pendapat bapak.
Bapak cuma
melengos aja terus duduk di depan tivi. Aku masih saja mengunyah nasi kuning
yang ternyata cuma berteman mie soun, telor dadar sama timun dan kerupuk. Cuma
itu yang ada di lemari. Padahal kalau versi lengkapnya nasi kuning itu ya macam-macam.
Ada telur dadar, kerupuk, sambel kering tempe, abon, timun, ayam goreng. Dan
banyak lagi kalau mau lengkap.
“Wong nasi kuning buat takjil kok bikin
iri.” Suara bapak jelas dari ruang sebelah.
“Ya tapi kan
tetep aja bikinnya pas ulang tahun bapak. Multifungsi. Sebagai takjil ples ulang tahun bapak.” Aku yang masih
nggak terima menyusul bapak ke ruang tivi, dengan tetap piring yang masih
setengah berisi hal yang menjadi topik perdebatan dengan bapak.
“Ya kamu taun ini ulang tahunnya pas puasa aja po pie?”
“Ya nggak bisa
to Pak, mosok ulang tahun dimajukan po diundur? Lha seneng aku kalau umur bisa dinyang
gitu.”
“Lha kui kowe ngerti.”
Aku kemudian fokus
untuk menghabiskan apa yang sudah ibu jatahkan untukku kali ini.
“Eh kenapa kalau
ulang tahun itu kok identik dengan nasi kuning yo Pak?”
“Lah jare kowe luwih pinter seko bapak. Jajal
goleki dewe to.”
Karena seret, aku menyeruput teh yang tersaji
di sebuah gelas yang besarnya sak hohah itu. Bapak memang tidak minum kopi.
Tapi jangan salah, porsi gelasnya untuk teh tubruknya bikin geleng-geleng, gula
pasir sekilo paling cuma bertahan satu minggu. Aku sering ikut nyeruput tehnya.
Ya karena menurut lidahku kok rasanya beda aja dibandng kalau aku bikin teh
pakai gelas lain. Mungkin karena gelasnya ada apa-apanya. Lha apa ? Ya ada teh,
gula sama air panas to?
“Nasi kuning kan
warnanya kuning to?”
“Lha ya itu jelas Pak, namanya aja nasi
kuning.”
“Makanya itu. Warna
kuning itu ibarat emas. Emas sendiri melambangkan kemakmuran, kesejahteraan.”
Aku
manggut-manggut
“Itu alasan
kenapa nasi kuning selalu ada di acara yang sifatnya bahagia. Seperti ulang
tahun, syukuran buka usaha, atau yang lain. Yang seneng pokoknya.” Tambah Bapak
sambil nyomot mendoan di samping gelas tehnya.
“Lah ibu malah
bikin nasi kuning buat takjil?”
“Laopo kowe ora seneng ? Buka puasa itu
adalah saat yang dinanti-nanti to? Momen
yang menyenangkan juga to?”
Aku cuma mbatin “bener juga yo”. Setelahnya aku kembali ke
dapur. Piring di depanku sudah kosong.
“Katamu Bapak
ulang tahun hari ini? Kadonya mana?”
Mendengar
pertanyaan itu, aku jadi teringat sesuatu. Aku menuju motor untuk mengambil
sesuatu yang aku taruh di jok motor tadi.
“Ini lho buat bapak. Gimana?”
“Lha opo iki ?” Sepertinya bapak
penasaran dengan plastik kresek yang aku berikan. “Wolah mosok hadiah kok obat maag.” Imbuh bapak waktu sudah melihat
apa isinya.
Aku dengan
tenangnya sambil leyeh-leyeh karena kekenyangan “Lha bapak tadi pagi pas aku berangkat minta apa ? Obat maag to? Itu
sudah tak tambahi minyak kayu putih lho,
Pak.”
Bapak terdiam
dan bermuka serius ketika sinetron kesukaanya mulai.
Oiya, kok ibu
belum pulang ya ?
Sehat selalu ya Pak. Buat aku bapak itu dari dulu seperti itu, tidak berubah. Jadi sedikit emosional setelah sadar bahwa Bapak sudah semakin tua. sehat selalu ya Pak:)
Kerenn
BalasHapusahayy makasih pak Pical :)
HapusSuka kalimat penutupnya, "emosional setelah sadar bahwa Bapak sudah semakin tua. sehat selalu ya Pak" saya juga ngerasa hal yang sama...
BalasHapushihihi...ngerasa hal yang sama gimana mas? bukannya mas masih mahasiswa? =D
Hapus