Selasa, 07 Juni 2016

Nasi Kuning dan Adu Pekok Bapak Anak

kuliner123.com

“Ini lho Pak, Bapak ulang tahun dibuatin nasi kuning. Aku aja nggak kemarin pas ulang tahun.”


Kemarin yang merupakan awal puasa bertepatan dengan hari lahir bapak. Enam Juni enam puluh empat tahun yang lalu. Seperti biasa, tidak ada perayaan. Karena kata bapak, ulang tahun itru justru mengingatkan kita kalau “jatah” kita di dunia semakin berkurang. Masak malah mau dirayain? Ya itu pendapat bapak.


Bapak cuma melengos aja terus duduk di depan tivi. Aku masih saja mengunyah nasi kuning yang ternyata cuma berteman mie soun, telor dadar sama timun dan kerupuk. Cuma itu yang ada di lemari. Padahal kalau versi lengkapnya nasi kuning itu ya macam-macam. Ada telur dadar, kerupuk, sambel kering tempe, abon, timun, ayam goreng. Dan banyak lagi kalau mau lengkap.

Wong nasi kuning buat takjil kok bikin iri.” Suara bapak jelas dari ruang sebelah.
“Ya tapi kan tetep aja bikinnya pas ulang tahun bapak. Multifungsi. Sebagai takjil ples ulang tahun bapak.” Aku yang masih nggak terima menyusul bapak ke ruang tivi, dengan tetap piring yang masih setengah berisi hal yang menjadi topik perdebatan dengan bapak.
“Ya kamu taun ini ulang tahunnya pas puasa aja po pie?”
“Ya nggak bisa to Pak, mosok ulang tahun dimajukan po diundur? Lha seneng aku kalau umur bisa dinyang gitu.”
Lha kui kowe ngerti.”

Aku kemudian fokus untuk menghabiskan apa yang sudah ibu jatahkan untukku kali ini.

“Eh kenapa kalau ulang tahun itu kok identik dengan nasi kuning yo Pak?”
Lah jare kowe luwih pinter seko bapak. Jajal goleki dewe to.”

Karena seret, aku menyeruput teh yang tersaji di sebuah gelas yang besarnya sak hohah itu. Bapak memang tidak minum kopi. Tapi jangan salah, porsi gelasnya untuk teh tubruknya bikin geleng-geleng, gula pasir sekilo paling cuma bertahan satu minggu. Aku sering ikut nyeruput tehnya. Ya karena menurut lidahku kok rasanya beda aja dibandng kalau aku bikin teh pakai gelas lain. Mungkin karena gelasnya ada apa-apanya. Lha apa ? Ya ada teh, gula sama air panas to?

“Nasi kuning kan warnanya kuning to?”
Lha ya itu jelas Pak, namanya aja nasi kuning.”
“Makanya itu. Warna kuning itu ibarat emas. Emas sendiri melambangkan kemakmuran, kesejahteraan.”

Aku manggut-manggut
“Itu alasan kenapa nasi kuning selalu ada di acara yang sifatnya bahagia. Seperti ulang tahun, syukuran buka usaha, atau yang lain. Yang seneng pokoknya.” Tambah Bapak sambil nyomot mendoan di samping gelas tehnya.
“Lah ibu malah bikin nasi kuning buat takjil?”
Laopo kowe ora seneng ? Buka puasa itu adalah saat yang dinanti-nanti to? Momen yang menyenangkan juga to?”

Aku cuma mbatin “bener juga yo”. Setelahnya aku kembali ke dapur. Piring di depanku sudah kosong.

“Katamu Bapak ulang tahun hari ini? Kadonya mana?”

Mendengar pertanyaan itu, aku jadi teringat sesuatu. Aku menuju motor untuk mengambil sesuatu yang aku taruh di jok motor tadi.
“Ini lho buat bapak. Gimana?”
Lha opo iki ?” Sepertinya bapak penasaran dengan plastik kresek yang aku berikan. “Wolah mosok hadiah kok obat maag.” Imbuh bapak waktu sudah melihat apa isinya.

Aku dengan tenangnya sambil leyeh-leyeh karena kekenyangan “Lha bapak tadi pagi pas aku berangkat minta apa ? Obat maag to? Itu sudah tak tambahi minyak kayu putih lho, Pak.”
Bapak terdiam dan bermuka serius ketika sinetron kesukaanya mulai.
Oiya, kok ibu belum pulang ya ?


Sehat selalu ya Pak. Buat aku bapak itu dari dulu seperti itu, tidak berubah. Jadi sedikit emosional setelah sadar bahwa Bapak sudah semakin tua. sehat selalu ya Pak:) 






4 komentar:

  1. Suka kalimat penutupnya, "emosional setelah sadar bahwa Bapak sudah semakin tua. sehat selalu ya Pak" saya juga ngerasa hal yang sama...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi...ngerasa hal yang sama gimana mas? bukannya mas masih mahasiswa? =D

      Hapus