Sebagian besar orang akan terseret ke masa lalu ketika hujan mulai datang. Menata kepingan puzzle demi puzzle kenangan yang berserakan. Membentuk cerita yang mungkin ingin dilupakan namun tetap saja hadir kembali ketika hujan kembali turun. Berbeda denganku, ada harapan yang bersemi setiap kali hujan turun.
“Rin, kamu masih
mau di sini?” Aku mengangguk ketika temanku memutuskan untuk pulang setelah
mendapat telepon dari suaminya lima menit yang lalu.
Tempat ini, aku
masih ingat betul ketika seorang perempuan mengantarkanku ke tempat ini. Hari
Minggu, setelah adzan ashar, aku dan dia sampai di tempat ini. Tempat yang
akhirnya menjadi rumahku selama 12 tahun. Berhubung tempat kerjaku lumayan jauh
dari sini, aku memilih untuk kost. “pulang” ke sini setiap hari Minggu saja.
“Rin, kamu masih
mau di luar?” Bu Emi tahu betul kebiasaanku. Duduk di teras seraya memandangi
pintu gerbang. Pertama kali bertemu, dia sangat cantik. Rambut sebahu, wajah
yang dihiasi kacamata, dan senyum ramah. Aku pernah bertanya padanya, apakah ibu tidak pernah sedih? Itu
karena selama dua belas tahun bersamanya, wajahnya selalu ceria, selalu ada
senyum. Dia sesekali marah, bahkan aku pernah dimarahi, tapi aku belum pernah
melihatnya sedih.
Dia lah yang
menyambutku pertama kali waktu aku datang ke sini. Belakangan ini aku baru
tahu, bahwa bu Emi adalah teman SMA ibuku. Karena itulah aku diantarnya ke
panti ini. Semenjak itu lah aku merasakan hidup menjadi anak panti.
“Rin, ibu akan
ke sini lagi dua tahun dari sekarang. Waktu ibu jemput nanti, ibu pastikan Rin
akan punya payung cantik.” Itulah yang ibu janjikan sore itu. Sore sebelum ibu
pergi ke penampungan dan pergi ke Kuwait. Ibuku adalah TKW.
Sebuah mobil
putih berhenti di depan panti. Hatiku mengembang, akhirnya yang aku tunggu
datang juga. Seorang wanita berbaju abaya turun dari mobil itu. Aku segera
menyambutnya seperti biasa. Menyalaminya serta mencium pipi kiri dan kanannya.
Bersamanya seorang lelaki Arab yang telah menjadi suaminya selama delapan tahun
ini.
“Mari, Ibu
Marlina dan bapak. Silahkan duduk.” Ibu Marlina berkunjung ke panti ini setahun
dua kali. Tiga tahun terakhir dia selalu ditemani oleh suaminya ketika datang
ke sini. Mereka datang ke panti ini di saat musim hujan. Alasannya karena
mereka ingin menjadi seperti payung untuk anak-anak penghuni panti. Payung yang
melindungi mereka dari hujan.
Jika orang lain
sibuk dengan kenangan mereka ketika hujan turun. Maka aku akan sibuk dengan
harapanku untuk bertemu ibu, dengan catatan aku harus
bersikap biasa agar suaminya tidak curiga.
Kota Binangun 25102016
good post
BalasHapusterima kasih bapak sudah mampir :)
HapusApikkk
BalasHapusSuwun Om pakde :D
HapusSedih yo mbak
BalasHapus:( jangan nangis ya mbak
HapusDuh.......
BalasHapusKamu kenapaahhh =D
Hapus