Selasa, 10 Maret 2015

Pendusta Jelita


Senyum adalah kekuatannya
Senyum adalah pilihannya
Senyum adalah tempatnya bersembunyi



Jarum pendek jam menunjuk ke angka sembilan, sedang jarum panjang telah beralih ke angka empat. Kamu keluar dari bangunan itu. Dulunya bangunan itu adalah sebuah rumah kemudian setelah pemiliknya pindah ke luar kota, dijadikan sebuah kantor, dan setelah beberapa bulan kosong, lalu berubah menjadi sebuah toko buku. Dengan cat warna merah menyala, bangunan itu tampak menyolok di pojokkan pertigaan jalan. Tepat di depan adalah sebuah factory outlet yang selalu ramai dikunjungi. Toko buku itu tidak terlalu besar, bangunannya jika dari depan justru tampak seperti rumah biasa. Halaman yang digunakan untuk tempat parkir pun tidak terlalu luas, jadi terkadang mobil harus parkir di pinggir jalan jika parkir sudah penuh.

Seperti biasanya, kamu akan mengayuh sepeda mini warna putih itu untuk menuju kost mu yang hanya berjarak tidak lebih dari satu kilometer. Dimana itu aku tidak tahu, aku hanya mendengar saat kamu dan salah satu temanmu berbincang. Tapi sebelumnya, biasanya kamu akan terlebih dulu duduk di kursi panjang yang ada di dekat pintu masuk, dekat tempat penitipan tas atau barang milik pengunjung. Menyenderkan badanmu di kursi, lalu kamu akan menghela napas panjang.

Malam ini karena mendung jadi kamu memutuskan untuk langsung pulang. Sapaan ramah kepada bapak tukang parkir itu tidak pernah kamu lupakan. Kamu memang selalu ramah dan murah senyum. Itu menurutku, dan aku yakin banyak orang akan juga akan berkata demikian.

Aku senang setiap melihatmu bercanda bersama teman di depan toko ini selepas pulang kerja. Guyonanmu selalu mampu membuat temanmu tertawa, ejekan-ejekan mereka pun justru membuatmu semakin tertawa. Aku belum pernah bertemu dengan perempuan seceria kamu, setidaknya selama enam tahun aku di sini. Pasti hidupmu sangatlah bahagia.

Pendapatku tentang keceriaamu ternyata salah. Semua runtuh begitu saja, kejadian itu kalau tidak salah sebulan yang lalu. Seperti biasa, ketika jam dinding di dekat tempat penitipan tas itu menunjuk angka sembilan lebih, maka satu persatu karyawan toko buku itu bersiap untuk pulang. Tidak terkecuali kamu, waktu itu setelah mengambil sepedamu dari parkiran, tiba-tiba saja handphone mu berbunyi.

Tidak lama, kamu hanya berbicara sekitar lima belas menit dengan orang yang menelponmu itu. Awalnya kamu masih bisa tersenyum saat menerima telepon itu, kemudian raut mukamu berubah ketika telepon itu kamu tutup. Kamu berjalan ke arah kursi panjang di dekat pintu masuk. Duduk menyenderkan tubuhmu. Sempat sekian menit kamu memejamkan matamu. Entah siapa yang menelponmu itu, apa yang dibicarakan denganmu, tapi aku menebak itu sesuatu yang mengubah wajahmu menjadi murung.

Aku semakin penasaran sekaligus terkejut ketika melihat buliran air mata itu menuruni pipimu. Lampu di atas pintu masuk itu cukup terang, jadi aku bisa melihat dengan jelas air itu menetes. Setelahnya, kamu menghela napas lagi. Apa sebenarnya yang terjadi padamu?

Setelah hampir dua puluh menit terdiam di atas kursi itu, kamu akhirnya memutuskan untuk pulang. Kamu membuatku terkejut lagi, ketika sebelum melangkahkan kaki menuju sepedamu, kamu menoleh ke arahku. Seperti kamu tahu sedari tadi aku memperhatikanmu, keterkejutanku ternyata masih belum usai di situ. Kamu kembali menoleh ke arahku lalu kamu berkata “ Tenang Pak Marco, aku nggak apa-apa kok. Okey. Aku pulang dulu ya, selamat malam.”
Kalimat itu kamu ucapkan dengan senyuman dan kerlingan mata. Membuatku gemes padamu. Kamu memang gadis yang kuat. Sejak kapan pula kamu tahu namaku?

*8*

Setelah kejadian malam itu, kamu sempat tidak masuk kerja selama tiga hari. Aku menduga ini pasti ada hubungannya dengan telepon yang kamu terima itu. Tiga hari itu pula tidak ada kejadian istimewa di toko buku. Karyawan langsung pulang begitu toko tutup. Tidak ada yang duduk di kursi panjang. Hingga akhirnya di hari keempat kamu datang lagi. Senang rasanya melihatmu pagi itu.

Tidak aku kira, pagi itu kamu menyapaku, “Pagi, Pak Marco, lama kayaknya nggak ketemu. Aku kerja dulu ya.” Itulah sapaanmu. Senyum itu tidak lupa kamu sunggingkan. Aku rasa kamu sudah lupa dengan kejadian malam itu.

Lagi-lagi, aku salah menilaimu. Ketika semua karyawan telah pulang, lagi-lagi kamu masih duduk di kursi itu, dan lagi air mata itu aku lihat lagi. Padahal baru sepuluh menit sebelumnya kamu masih tertawa lepas dengan temanmu. Mengejek salah salah satu temanmu yang katanya belum pernah makan di fastfood. Entah tawa itu pergi kemana sehingga harus ditukar dengan air mata.

Sebelum pulang kamu menyapaku lagi. Kali ini kalimat yang kamu ucapkan seraya menempelkan jari telunjuk di bibirmu, “Ssttt Pak Marco jangan bilang-bilang ya, cukup rahasia kita berdua aja. Okay.” Lalu kamu pun berlalu mengayuh sepeda putih itu lagi.

*8*

Aku masih sering melihatmu meneteskan air mata, walaupun setelahnya kamu akan bilang padaku bahwa kamu baik-baik saja dengan senyuman yang tidak pernah kamu lupakan itu. Sekalipun aku tidak pernah melihatmu berbagi kesedihanmu dengan temanmu, kamu selalu lalui sendiri, baiklah memang hanya ada aku yang selalu menemani mu. Meskipun aku sama sekali tidak tahu apa alasan atau apa masalah yang sedang kamu alami. Tapi ketika bersama orang lain yang aku lihat hanya tawa dan senyum darimu. Kontras. Ketika kamu duduk sendiri di kursi panjang itu.

Dan jika suatu saat ada yang menyadari keadaanmu yang sebenarnya, lalu menyebutmu dengan pendusta jelita, ingin rasanya aku menjadi yang pertama membelamu. Tapi aku bisa apa? Bahkan untuk bergeser menemani duduk di kursi panjang itu saja aku tidak bisa. Aku hanya karya seni yang diboyong ke tempat ini enam tahun yang lalu. Yang ditempatkan tidak jauh dari kursi favoritmu itu.
Sekali lagi aku tegaskan, jika ada yang menyebutmu pendusta jelita maka aku akan membelamu. Bukan, kamu bukan pendusta jelita, kamu hanya satu dari jutaan eccedentesiast* di dunia ini.


- Ilustrasi : smile 

Note : 
*eccedentesiast : istilah psikologi untuk orang yang menyembunyikan rasa sakit/kesedihan dibalik senyumannya.







14 komentar:

  1. Ealah... Pak Marko-nya benda mati... :(

    BalasHapus
  2. Personifikasi yang menarik mbak. Aku itu ternyata sebuah karya seni....
    Tapi di awal-awal kelihatan beneran hidup loh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe ..makasih pak Pical.

      kalau hidup beneran ngeri kali ya :)

      Hapus
  3. ecieeee bisa bikin yang unik n ciamiiik gini lhoo!!
    ampe merinding ane bacanya

    jadi keinget pelem... ahhh lupa dah judulnya
    manekin seorang gadis cantik, yang kalo malam dia berubah jadi manusia, fajar menyingsing kembali menjadi boneka manekin

    hajarrrr Nong

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahha....merinding ga guling kan ya 'Oom..:D

      nahhh klo kaya gitu malah jadi keinget video klip girlband korea SNSD..wkwkwkkwkw

      Hapus
  4. Senyum bishoujo-nya kawaii ne #salahfokus
    Ada fotonya si Jelita nggak? #salahfokuslagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oheeemmjjjihhh

      wkwkkwkwk..ntar aku minta pak Marco motoin Jelita dulu ya mas ^^

      Hapus
  5. gx bisa ketebak alurnya.
    orang bisa salah tebak kalo gx baca sampe akhir, keren ih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. untung bacanya pada sampe akhir ya mbak..biar ga salah tebak hehehhe

      Hapus