Senin, 16 Februari 2015

[Meltrick Icetic] Awal dari Semua

ilustrasi : start 

Waktu itu Diana mengadakan acara untuk merayakan ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Beberapa teman kuliah diundang temasuk Riri yang memang sahabat dari SMA. Cumi adalah teman kuliah kakak Diana, Dedy. Acara mulai sekitar pukul tujuh malam, tidak terlalu mewah. Hanya acara tiup lilin dan makan malam bersama saja.

Di sela acara, Diana menarik tangan Riri yang sedang duduk ngobrol bersama teman kuliah lain.
“Apa sih Dii? Aku kan lagi ngobrol sama Nindy.” protes Riri tangannya ditarik begitu saja oleh Diana
“Sstt..aku kenalin sama temennya bang Dedy. Dia masih jomblo.”
“Siapa? Orangnya kaya gimana?”
“Udah ikut aja.”

Diana mengajak Riri ke taman belakang. Di sana berkumpul Dedy bersama dua orang temannya.
“Oh ini dia yang ulang tahun.” Salah satu teman Dedy menengok ketika Diana dan Riri berjalan menuju ke arah mereka.
“Eh kenalin ini sahabat aku, Riri. Riri, ini mas Yossi dan itu mas Esa.”
Yossi segera berdiri dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Riri. Sementara Esa, yang sedang asik main game di handphone nya tidak menggubris kedatangan Diana dan Riri.

“Malam Mas Esa.” Riri menyapa terlebih dulu sambil tersenyum. Lelaki itu hanya menoleh dan membalas salam. “Malam” lalu kembali lagi sibuk dengan handphone di tangannya.

Dalam hati Riri merasa lelaki itu songong dan agak tidak sopan. “Dia memang seperti itu orangnya Ri.” Diana berbisik di telinga Riri. Mereka lalu ngobrol berempat bersama Dedy dan Yossi. Esa merasa terganggu dengan obrolan mereka berempat. Terlalu berisik. Riri menyindirnya ketika dia berjalan di belakangnya hendak masuk ke dalam.

“Pacarnya susah dihubungi ya Mas? Sampe HP nya dipelototin terus.”
Esa menghentikan langkahnya, melirik ke arah Riri sekian detik lalu kembali duduk di tempatnya semula. Diana menyenggol lengan Riri sambil melotot. Riri hanya menanggapi dengan senyum kecil.

Waktu semakin malam, rencanya Riri akan diantar oleh Dedy untuk pulang, akan tetapi masih ada beberapa tamu yang tidak bisa ditinggal. Akhirnya, Dedy meminta tolong Esa untuk mengantar Riri karena kebetulan rumah mereka searah.
“Di, gila kamu ya? Masak aku diantar dia? Bisa diturunin di tengah jalan entar. Mana tadi aku nyindir dia lagi.”
“Kamu sih, dia emang pendiem gitu tapi dia sebenernya baik. Yakin deh dia bakal ngantar kamu samapi rumah.”
“Iya, tapi sepanjang jalan nanti aku ngobrol apa sama dia coba?”
“Hahaha…Kamu kan nggak pernah kehilangan ide. Udah sana, dia nunggu di depan tuh.”

Riri berjalan tertunduk menuju depan rumah. Di sana mobil Esa sudah menunggu. Esa memencet klakson dua kali membuat Riri kaget.
“Iya bentar, ini lagi jalan juga.” Riri mendengus kesal

Di dalam mobil Riri dan Esa hanya diam satu sama lain. Sampai akhirnya Esa memecah kediaman itu.
“Kenapa diam? Bukannya tadi di sana kamu banyak omong?”
“Ehh…maaf ya yang tadi, becanda aja kok.” Riri tersenyum sambil nyengir
“Nggak apa. Belum jawab pertanyaanku, kenapa diam?” Esa tersenyum melihat ekspresi Riri
“Naaahhhh….begitu kan cakep Mas Esa, senyum. Brad Pitt aja kalah cakepnya. Hehehe…”Riri mulai menggombal. “Aku diem karena nggak tahu mau ngobrol apa, oiya. Mas Esa satu jurusan sama Mas Dedy ya?”
“Iya.”
“Keren lho jurusan yang kalian ambil itu. Menurutku aja sih, anak tehnik itu keren.”
“Oya?”
“Iya, dulu aku pengen banget masuk jurusan tehnik, ah tapi apa daya. Daripada mandeg di tengah jalan mendingan pilih jurusan lain. Otakku kayaknya nggak nyampe. Apalagi sepertinya njelimet gitu….” Riri ngomong panjang lebar sampai akhirnya berhenti
“Baru ditanya kenapa diem, langsung jawabnya panjang lebar kaya kereta ratusan gerbong.”
Riri terhenyak dengan kalimat yang didengarnya barusan. Menoleh.
“Mas rumahku di depan itu, aku turun di sini aja.”
Esa mengernyitkan dahi
“Bukannya rumahmu jalan Tamsis?”
“Bukan, aku turun di sini aja.” Esa segera menepikan mobilnya. Riri segera membuka pintu dan keluar dari mobil.
“Kamu yakin turun di sini?”
“Iya, makasih banget ya Mas, sudah mau nganterin. Hati-hati di jalan.”
“Sama-sama.” Esa lalu memacu kembali mobilnya. Rumah Riri sebenarnya masih jauh, sekitar empat kiloan lagi. Dia sudah terlanjur kesal dengan omongan Esa tadi.
“Apa tadi dia bilang, kaya kereta ratusan gerbong? Dia pikir dia siapa?” Riri ngomel sendiri sambil memencet handphonenya untuk memesan taksi.

Sementara itu, Esa coba menghubungi Dedy menanyakan alamat Riri. Esa langsung memutar balik mobilnya ketika Dedy memberitahunya. Bahwa rumah Riri masih jauh dari tempat ia menurunkannya tadi.

Sampai di tempat Riri turun tadi, sudah sepi. Tidak ada orang di sana. Riri juga sudah tidak ada di sana. Ia sempat turun dari mobil dan mencoba mencari Riri barangkali masih di sekitar situ. Nihil, hanya ada orang yang makan di angkringan saja.
Esa meminta Dedy untuk mengirimkan nomor Riri. Dicoba telpon berkali-kali tidak diangkat. Esa semakin kebingungan. Takut terjadi apa-apa dengan Riri.

“Anak orang gimana nasibnya itu?” Esa memilih menyusuri jalan, memacu mobilnya secara perlahan, tengak tengok kanan kiri. Tidak dilihatnya sosok yang dicarinya.
Dua puluh menit Esa berkeliling di jalan seputaran tempat Riri turun tadi. Handphonenya berdering.
“Halo maaf ini siapa ya? Tadi no ini sempat telpon saya berkali-kali soalnya.” Suara perempuan di seberang telpon sana jelas
“Kenapa nggak bilang kalau rumahmu masih jauh!” Esa setengah berteriak
“Ehh..Ini mas Esa ya? Ada apa ya Mas? Aku baru selesai mandi, jadi tadi nggak diangkat telponnya.”
“Bikin orang khawatir aja.”

Klik
Telpon itu ditutup begitu saja. Riri terdiam. “Ini orang punya hobi kok marah-marah.”

Sejak kejadian itu mereka sering bertemu. 

4 komentar: