Selasa, 03 Februari 2015

[Meltrick Icetic] Mission Possible


ilustrasi : primitif

#Mission Possible

Ada yang bilang gombal itu adalah milik kaum lelaki tapi itu tidak berlaku untuk Riri. Bagi gadis dua puluh tiga tahun itu, gombal adalah bagian dari kesehariannya. Gombal adalah gaya hidupnya. Entah itu perempuan atau lelaki yang dia temui pasti akan dia gombali juga. Kebiasaan ini terkadang membuat orang yang berada di sekitarnya tertawa, tapi tidak jarang juga membuat jengkel dan membuatnya dalam masalah.


Seperti pagi ini, Riri bangun kesiangan padahal hari ini ada misi negara yang harus dikerjakannya. Dengan terburu-buru dia menghabiskan sarapan yang sudah disiapkan ibunya.

“Kamu itu, kalau tidur kok kaya kebo. Nggak denger ibu sudah teriak-teriak.”
“Aku rela jadi kebo asalkan aku tetap jadi anak ibu.” Riri menggegam tangan ibunya dengan wajah serius. Melihat polah anaknya itu, perempuan setengah baya itu mencubit pipi Riri karena gemas. “Ibu sudah nggak mempan  sama gombalanmu.” Seketika itu Riri mencium pipi ibunya dan segera pamit setelah mendengar suara klakson motor dari depan rumah.

Di depan Diana sudah menunggu Riri di atas motornya. Diana adalah sahabat Riri semenjak SMA.
 “Mau kemana to sebenarnya?”
“Pagiii Diana, coba lihat deh matahari pagi ini secerah wajah kamu.” Senyuman Riri menyambut cewek dengan rambut curly sebahu itu.
“Mau kemana?”
“Hari ini mumpung libur, temenin aku buat melaksanakan tugas negara ya. Ini penting, menyangkut hajat hidup orang banyak. Nanti aku kasih tunjuk jalannya deh.”

Hari ini adalah hari ulang tahun Cumi, kekasihnya. Ya, panggilan sayang Riri untuk kekasihnya adalah Cumi.  Mereka sudah menjalin hubungan sejak dua tahun yang lalu. Mereka bertemu di acara ulang tahun Diana. Cumi waktu itu juga  diundang ke acara itu karena Cumi merupakan sahabat dari kakaknya Diana. Cumi dikenal cowok yang pendiam, terkesan dingin, jutek dan galak. Awalnya tidak ada yang menyangka kalau Riri bakal pacaran dengan Cumi.

Riri awalnya merasa Cumi adalah cowok yang angkuh bin songong. Waktu dikenalin pertama kali oleh Diana, cowok dengan rambut ikal itu senyum saja tidak. Riri yang penasaran dengan sosok Cumi berusaha mendekatinya selama hampir dua tahun. Selama itu sering mendapat perlakuan ketus dari Cumi. Kata-kata yang bisa terbilang bisa membuat sakit hati. Tapi sama sekali Riri tidak merasa tersinggung dengan perlakuan yang diterimanya itu.

Motor itu melaju membelah kota yang masih berudara cukup segar pagi itu. Diana memilih diam sepanjang perjalanan, hingga sampailah di sebuah perempatan.
“Ini kemana ?”
“Kita lurus aja.”
“Males banget lampu merah di sini tuh. Lama.”
“Diii… padahal ya kalau kamu jadi lampu merah aku rela berhenti menunggu selamanya.” Riri melancarkan aksinya melihat Diana yang mulai ngomel karena diminta mengantarnya pagi-pagi. Sementara yang digombali hanya menoleh dengan muka lempeng lalu menggelengkan kepalanya.
“Untung ya aku sudah kenal kamu lama.” Mendengar kalimat yang keluar dari sahabatnya itu Riri hanya nyengir dan tertawa.

Motor itu pun melaju menuju tempat yang Diana pun belum tahu mau kemana. Usia Riri dan Cumi terpaut empat tahun. Sikap Riri yang ceria, rame dan easygoing sangat kontras dengan sikap Cumi.
“Ini kemana lagi?”
“Belok kiri terus nanti lampu merah ketiga belok kanan.”
“Kita mau ke Pucung?”
“Iya.”
“Ngapain?”
“Hari ini tuh Cumi ulang tahun, aku mau kasih sesuatu ke dia. Dari kemarin nggak sempet nyari”

Dua puluh menit memacu motor, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah di daerah Pucung. Riri meminta Diana menunggu di motor saja karena urusannya hanya sebentar. Sekitar sepuluh menit Riri berada di rumah bercat kuning gading itu. Dia diantar keluar oleh pemilik rumah, seorang lelaki tua dengan rambut dan jenggot yang sudah putih. Riri pun pamit.
“Ngapain to? Kok aku nggak dicritain?”
“Nanti di rumah aku ceritain deh. Sekarang kita pulang?”

*8*

Riri membuatkan segelas minuman untuk Diana yang duduk di depan TV.

“Rumah kok sepi sih Ri, ibu sama bapak kemana?”
“Ke Purworejo, nengok saudara yang sakit.”
“Memangnya tadi kamu beli apa sih di rumah bapak tadi?”
“Beli kado buat Cumi, kan aku bilang tadi, hari ini Cumi ulang tahun.”
“Apa kadonya? Boleh lihat?”

Riri membuka bungkus yang dibawanya dari rumah bapak tadi.

“Hahaha…kamu gila ya Ri, masak kasih kado ini?” Diana tertawa begitu Riri menunjukkan kado yang akan diberikan kepada Cumi nanti.
“Biarin, sengaja. Kalau dia nggak suka ya suruh buang aja.”
“Weleh, hari ini dia ke sini?”
“Nggak tahu, dari semalem aku telpon dia tapi nggak diangkat, padahal ya aku sudah sengaja nggak tidur sampai tengah malam, biar bisa ucapin dia. Malah nggak diangkat. Sampai sekarang aja dia nggak telpon,BBM ataupun SMS. Sebel kan aku jadinya.”
“Sebel aja masih mau dikasih kado, kaya kamu baru kenal dia aja. Dia kalau sudah kerja kan gitu, lupa sama semuanya. Atau jangan-jangan semalem dia lagi sama cewek lain ya Ri.” goda Diana
“Dianaa..dia itu nggak bisa lihat cewek lain selain aku. Aku cuma kalah cantik aja sama kerjaannya.” bantah Riri sambil melempar bantal. Mereka lalu tertawa bersama.

Tiba-tiba handphone Riri berbunyi.

“Ya..halo. Maaf ini siapa ya?”
“Kok siapa? Memangnya sudah lupa sama suaraku? Memangnya nomorku kamu hapus ?” suara Cumi di seberang telpon sudah nampak sewot.
“Hehe..Cumi dibecandain aja sewot. Kamu itu sudah kaya lesung pipitku, nemplok di wajahku, selalu aku bawa kemana-mana. Nggak bisa kepisah deh.”
“Aku nggak suka ya, kamu berlagak nggak kenal gitu.”
“Iya..ada apa? Aku lagi di rumah sama Diana.”
“Kenapa kamu telpon malam-malam? Sakit ? atau kenapa?”
Benar seperti dugaan Riri sebelumnya, pasti kekasihnya itu lupa dengan hari ulang tahunnya sendiri.
“Nggak apa-apa, kangen aja. Kamu ke sini nggak nanti?”
“Iya nanti, setelah maghrib aja ya, aku masih harus selesain gambar dulu. Udah dulu ya, mau lanjutin gambar lagi.”

Klik

Telpon itu langsung di tutup. Seperti itulah sifat Cumi, tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya jika sedang bekerja. Riri sudah terbiasa dengan sikap Cumi yang seperti itu. Akan tetapi kadang dia bisa jengkel dengan sikap kekasihnya yang terkesan cuek dan juga galak itu.
“Dia kesini nanti?”
“Iya katanya setelah maghrib. Dia aja lupa kalau hari ini dia ulang tahun.”
“Bukan dia kalau bisa inget hal-hal kaya gitu, ulang tahunmu tahun kemarin dia juga lupa kan?”
“Iya…tapi walaupun dia selalu nggak inget hal-hal kecil itu, tapi dia selalu inget punya kekasih yang manis ini.”
“Hallah..narsis.”
“Hahaha..aku kan beneran manis Di, kalau nggak mana mungkin dia cinta mati sama aku.”

*8*

Suara motor Cumi terdengar di depan rumah. Riri bersiap melangsungkan aksinya. Dia membukakan pintu lalu mempersilakan masuk. Di ruang tamu mereka duduk. Riri hanya diam dan tersenyum ketika membuka pintu tadi.

“Bapak Ibu kemana?”
“Ke Purworejo, nengok saudara sakit.”
“Tadi lama Diana di sini?”
“Ga.”
“Kamu sudah makan?”
“Belum.”

Riri sengaja menjawab singkat-singkat setiap pertanyaan Cumi. Riri lalu mengambil minum untuk Cumi ke dapur. Cumi bingung dengan sikap Riri yang menjadi diam. Biasanya Riri yang cerewet tanya ini itu, cerita ini itu.

Segelas teh hangat dibawa Riri lalu ditaruhnya di meja depan Cumi. Riri beralih membaca majalah yang ada di meja. Cumi berusaha mencari perhatian dengan sengaja sedikit menumpahkan teh di kemeja yang dipakainya saat menyeruput the buatan Riri.

“Ehh..yah..tumpah kena baju.” Dalam keadaan seperti ini biasanya Riri akan ngomel panjang seperti minum kok tidak hati-hati, noda minuman itu di baju susah hilang, dan semacamnya. Akan tetapi kali ini Riri hanya menyodorkan tissue untuk membersihkan tumpahan teh di kemeja Cumi.

Cumi hanya bengong dan bingung melihat tingkah Riri. Riri sudah hampir tertawa melihat ekspresi Cumi tapi dia tahan. Riri lalu melanjutkan membolak-balikkan halaman demi halaman majalah di tangannya. Cumi masih berusaha untuk mencari perhatian dari Riri. Dia mencoba main game yang ada di handphone nya dengan volume yang dipasang full. Biasanya Riri akan langsung protes karena berisik, kali ini Riri hanya memandang ke arah Cumi sebentar ketika suara itu terdengar lalu melanjutkan lagi melihat-lihat majalah.

Cumi akhirnya tidak tahan dengan sikap Riri yang dirasa aneh itu.

“Kamu kenapa sih? Marah sama aku?”
“Nggak, kenapa memangnya aku?”
“Lha itu tadi, ditanya jawabnya singkat-singkat gitu, aku juga dicuekin dari tadi. Kenapa sih?”
“Nggak kenapa-kenapa kok.” Riri menjawab tanpa melihat ke arah Cumi
“Aku tuh ya, ke sini pengen ngobrol sama kamu. Bukan dicuekin gitu, capek-capek pulang kerja langsung ke sini kepengen ketemu kamu, kangen sama kamu, tapi malah dicuekin gitu apaan sih.”
“Ya udah, makan aja dulu yuk.”
“Jawab dulu,  kamu kenapa? Ehh kita mau makan di mana?”
“Hahahhaha….kamu tuh ya Cumi.” Riri akhirnya tidak tahan lagi untuk menahan tawanya, dicubitnya perut Cumi. Kekasihnya itu selain jutek, galak, tapi juga doyan makan.
“Kok ketawa sih, aku kan laper.”
“Makan di rumah aja ya, itu sudah aku siapin.”

Riri mengajak Cumi ke ruang makan. Di meja makan sudah tersaji beberapa masakan.

“Cumii…inget nggak, hari ini tanggal berapa?”
“Tanggal dua, kenapa memangnya?”
“haduhh…Cumi sayang, sekarang kan hari ulang tahunmu, aku siapin ini buat kamu.”
“Emang ulang tahunku hari ini ya?” Riri mengangguk lalu menyerahkan kadonya.
“Sebelum dibuka kadonya, berdoa dulu buat ulang tahunmu kali ini. Lalu tiup lilinnya.” Riri mengangkat satu cupcake yang juga disiapkannya.
“Sebenarnya aku nggak suka sama ulang tahun, ini mengingatkan aku kalau aku semakin tua, tapi makasih ya.” Cumi lalu menutup matanya sejenak untuk berdoa lalu meniup lilinnya.
“Selamat ualang tahun ya Cumiku sayang.” Cumi lalu memeluk Riri dengan erat.
“Buka dong kadonya.”
Cumi membuka bungkusan berwarna coklat itu.
“Kok serem ?”
“Hahahaha…kenapa Mi? Itu kaya kalau kamu lagi marahin aku kaya gitu mukanya, nyeremin.”
“Aku kan nggak seserem ini.”

Riri menghadiahi Cumi sebuah patung primitif. Patung itu berbentuk seperti seorang lelaki yang sedang jongkok dengan membawa sebuah tongkat. Patung berwarna hitam itu sengaja dipilih Riri untuk kadonya.

“Meskipun kamu berubah jadi seserem dan sehitam itu tiap kali kamu marah, tapi di mataku kamu tetep seperti bintang yang bersinar di malam hari kok Mi.”
Cumi yang digombali Riri, wajahnya berubah menjadi merah. Riri yang tidak tahan karena ekpresi cumi yang bikin gemes, lalu mencubit pipinya.
“Sudah boleh makan belum?”
“Iya, yuk makan.”
“Ini kenapa kita makannya pakai lilin, kan nggak mati lampu?”

Riri menghela napas mendapati kekasihnya yang tidak romantis itu.

“Kenapa kalau pakai lilin?”
“Boros aja, kan lagi nggak mati lampu, bisa disimpan buat besok kalau mati lampu lilinnya. Oh iya, aku nggak suka ya kamu kaya tadi, ditanya jawabnya singkat-singkat gitu, terus aku dicuekin gitu. Besok-besok nggak boleh kaya gitu lagi.”
“Iyaa Cumi ku…makan dulu gih. Nanti lagi ngomelnya.

Sekitar pukul setengah sembilan, Cumi pamit pulang. Riri mengantarnya sampai depan. Satu jam berselang, ada satu pesan masuk di handphone Riri

“Makasih ya, kamu sudah inget sama ulang tahunku. Makasih juga buat makan malamnya, enak banget. Kamu tidur yang nyenyak ya.”
“Iya kamu juga . I love you”
“iya.”
Riri hanya bisa menepok jidat ketika pesannya hanya dibalas dengan satu kata “Iya”.





6 komentar:

  1. hahahahaha :D sekali-kali dioonk

    BalasHapus
  2. Mbok yao yang Awal Dari Semua panjang kayak gini... Kan udah asyik bisa jadi lebih asyiiik...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ehhh baru liat komennya tangteh

      wkwkwkwk itu segitu sudah pas takarannya tangteh...opo timbanganku sik error ya -,-a

      Hapus
  3. keren mbak, ceritanya mengalir banget.
    suka,suka,

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehhehe...
      makasih mbak sudah berkunjung ^^

      Hapus