ilustrasi : primitif
#Mission Possible
Ada yang bilang gombal itu adalah
milik kaum lelaki tapi itu tidak berlaku untuk Riri. Bagi gadis dua puluh tiga
tahun itu, gombal adalah bagian dari kesehariannya. Gombal adalah gaya
hidupnya. Entah itu perempuan atau lelaki yang dia temui pasti akan dia gombali
juga. Kebiasaan ini terkadang membuat orang yang berada di sekitarnya tertawa,
tapi tidak jarang juga membuat jengkel dan membuatnya dalam masalah.
Seperti pagi ini, Riri bangun
kesiangan padahal hari ini ada misi
negara yang harus dikerjakannya. Dengan terburu-buru dia menghabiskan
sarapan yang sudah disiapkan ibunya.
“Kamu itu, kalau tidur kok kaya
kebo. Nggak denger ibu sudah teriak-teriak.”
“Aku rela jadi kebo asalkan aku
tetap jadi anak ibu.” Riri menggegam tangan ibunya dengan wajah serius. Melihat
polah anaknya itu, perempuan setengah baya itu mencubit pipi Riri karena gemas.
“Ibu sudah nggak mempan sama
gombalanmu.” Seketika itu Riri mencium pipi ibunya dan segera pamit setelah
mendengar suara klakson motor dari depan rumah.
Di depan Diana sudah menunggu Riri di atas motornya. Diana adalah sahabat Riri semenjak SMA.
“Mau kemana to sebenarnya?”
“Pagiii Diana, coba lihat deh
matahari pagi ini secerah wajah kamu.” Senyuman Riri menyambut cewek dengan
rambut curly sebahu itu.
“Mau kemana?”
“Hari ini mumpung libur, temenin
aku buat melaksanakan tugas negara ya. Ini penting, menyangkut hajat hidup
orang banyak. Nanti aku kasih tunjuk jalannya deh.”
Hari ini adalah hari ulang tahun
Cumi, kekasihnya. Ya, panggilan sayang Riri untuk kekasihnya adalah Cumi. Mereka sudah menjalin hubungan sejak dua
tahun yang lalu. Mereka bertemu di acara ulang tahun Diana. Cumi waktu itu
juga diundang ke acara itu karena Cumi
merupakan sahabat dari kakaknya Diana. Cumi dikenal cowok yang pendiam,
terkesan dingin, jutek dan galak. Awalnya tidak ada yang menyangka kalau Riri
bakal pacaran dengan Cumi.
Riri awalnya merasa Cumi adalah
cowok yang angkuh bin songong. Waktu dikenalin pertama kali oleh Diana, cowok
dengan rambut ikal itu senyum saja tidak. Riri yang penasaran dengan sosok Cumi
berusaha mendekatinya selama hampir dua tahun. Selama itu sering mendapat
perlakuan ketus dari Cumi. Kata-kata yang bisa terbilang bisa membuat sakit
hati. Tapi sama sekali Riri tidak merasa tersinggung dengan perlakuan yang
diterimanya itu.
Motor itu melaju membelah kota
yang masih berudara cukup segar pagi itu. Diana memilih diam sepanjang
perjalanan, hingga sampailah di sebuah perempatan.
“Ini kemana ?”
“Kita lurus aja.”
“Males banget lampu merah di sini
tuh. Lama.”
“Diii… padahal ya kalau kamu jadi
lampu merah aku rela berhenti menunggu selamanya.” Riri melancarkan aksinya
melihat Diana yang mulai ngomel karena diminta mengantarnya pagi-pagi.
Sementara yang digombali hanya menoleh dengan muka lempeng lalu menggelengkan
kepalanya.
“Untung ya aku sudah kenal kamu
lama.” Mendengar kalimat yang keluar dari sahabatnya itu Riri hanya nyengir dan
tertawa.
Motor itu pun melaju menuju
tempat yang Diana pun belum tahu mau kemana. Usia Riri dan Cumi terpaut empat
tahun. Sikap Riri yang ceria, rame dan easygoing
sangat kontras dengan sikap Cumi.
“Ini kemana lagi?”
“Belok kiri terus nanti lampu
merah ketiga belok kanan.”
“Kita mau ke Pucung?”
“Iya.”
“Ngapain?”
“Hari ini tuh Cumi ulang tahun,
aku mau kasih sesuatu ke dia. Dari kemarin nggak sempet nyari”
Dua puluh menit memacu motor,
akhirnya mereka sampai di sebuah rumah di daerah Pucung. Riri meminta Diana menunggu
di motor saja karena urusannya hanya sebentar. Sekitar sepuluh menit Riri
berada di rumah bercat kuning gading itu. Dia diantar keluar oleh pemilik
rumah, seorang lelaki tua dengan rambut dan jenggot yang sudah putih. Riri pun
pamit.
“Ngapain to? Kok aku nggak dicritain?”
“Nanti di rumah aku ceritain deh.
Sekarang kita pulang?”
*8*
Riri membuatkan segelas minuman
untuk Diana yang duduk di depan TV.
“Rumah kok sepi sih Ri, ibu sama
bapak kemana?”
“Ke Purworejo, nengok saudara
yang sakit.”
“Memangnya tadi kamu beli apa sih
di rumah bapak tadi?”
“Beli kado buat Cumi, kan aku
bilang tadi, hari ini Cumi ulang tahun.”
“Apa kadonya? Boleh lihat?”
Riri membuka bungkus yang
dibawanya dari rumah bapak tadi.
“Hahaha…kamu gila ya Ri, masak
kasih kado ini?” Diana tertawa begitu Riri menunjukkan kado yang akan diberikan
kepada Cumi nanti.
“Biarin, sengaja. Kalau dia nggak
suka ya suruh buang aja.”
“Weleh, hari ini dia ke sini?”
“Nggak tahu, dari semalem aku
telpon dia tapi nggak diangkat, padahal ya aku sudah sengaja nggak tidur sampai
tengah malam, biar bisa ucapin dia. Malah nggak diangkat. Sampai sekarang aja
dia nggak telpon,BBM ataupun SMS. Sebel kan aku jadinya.”
“Sebel aja masih mau dikasih
kado, kaya kamu baru kenal dia aja. Dia kalau sudah kerja kan gitu, lupa sama
semuanya. Atau jangan-jangan semalem dia lagi sama cewek lain ya Ri.” goda Diana
“Dianaa..dia itu nggak bisa lihat
cewek lain selain aku. Aku cuma kalah cantik aja sama kerjaannya.” bantah Riri
sambil melempar bantal. Mereka lalu tertawa bersama.
Tiba-tiba handphone Riri berbunyi.
“Ya..halo. Maaf ini siapa ya?”
“Kok siapa? Memangnya sudah lupa
sama suaraku? Memangnya nomorku kamu hapus ?” suara Cumi di seberang telpon
sudah nampak sewot.
“Hehe..Cumi dibecandain aja
sewot. Kamu itu sudah kaya lesung pipitku, nemplok di wajahku, selalu aku bawa
kemana-mana. Nggak bisa kepisah deh.”
“Aku nggak suka ya, kamu berlagak
nggak kenal gitu.”
“Iya..ada apa? Aku lagi di rumah
sama Diana.”
“Kenapa kamu telpon malam-malam?
Sakit ? atau kenapa?”
Benar seperti dugaan Riri
sebelumnya, pasti kekasihnya itu lupa dengan hari ulang tahunnya sendiri.
“Nggak apa-apa, kangen aja. Kamu
ke sini nggak nanti?”
“Iya nanti, setelah maghrib aja
ya, aku masih harus selesain gambar dulu. Udah dulu ya, mau lanjutin gambar
lagi.”
Klik
Telpon itu langsung di tutup. Seperti
itulah sifat Cumi, tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya jika sedang
bekerja. Riri sudah terbiasa dengan sikap Cumi yang seperti itu. Akan tetapi
kadang dia bisa jengkel dengan sikap kekasihnya yang terkesan cuek dan juga
galak itu.
“Dia kesini nanti?”
“Iya katanya setelah maghrib. Dia
aja lupa kalau hari ini dia ulang tahun.”
“Bukan dia kalau bisa inget
hal-hal kaya gitu, ulang tahunmu tahun kemarin dia juga lupa kan?”
“Iya…tapi walaupun dia selalu
nggak inget hal-hal kecil itu, tapi dia selalu inget punya kekasih yang manis
ini.”
“Hallah..narsis.”
“Hahaha..aku kan beneran manis Di, kalau nggak mana mungkin dia cinta mati sama aku.”
*8*
Suara motor Cumi terdengar di
depan rumah. Riri bersiap melangsungkan aksinya. Dia membukakan pintu lalu
mempersilakan masuk. Di ruang tamu mereka duduk. Riri hanya diam dan tersenyum
ketika membuka pintu tadi.
“Bapak Ibu kemana?”
“Ke Purworejo, nengok saudara
sakit.”
“Tadi lama Diana di sini?”
“Ga.”
“Kamu sudah makan?”
“Belum.”
Riri sengaja menjawab
singkat-singkat setiap pertanyaan Cumi. Riri lalu mengambil minum untuk Cumi ke
dapur. Cumi bingung dengan sikap Riri yang menjadi diam. Biasanya Riri yang
cerewet tanya ini itu, cerita ini itu.
Segelas teh hangat dibawa Riri
lalu ditaruhnya di meja depan Cumi. Riri beralih membaca majalah yang ada di
meja. Cumi berusaha mencari perhatian dengan sengaja sedikit menumpahkan teh di
kemeja yang dipakainya saat menyeruput the buatan Riri.
“Ehh..yah..tumpah kena baju.”
Dalam keadaan seperti ini biasanya Riri akan ngomel panjang seperti minum kok tidak
hati-hati, noda minuman itu di baju susah hilang, dan semacamnya. Akan tetapi
kali ini Riri hanya menyodorkan tissue untuk membersihkan tumpahan teh di kemeja
Cumi.
Cumi hanya bengong dan bingung
melihat tingkah Riri. Riri sudah hampir tertawa melihat ekspresi Cumi tapi dia
tahan. Riri lalu melanjutkan membolak-balikkan halaman demi halaman majalah di
tangannya. Cumi masih berusaha untuk mencari perhatian dari Riri. Dia mencoba
main game yang ada di handphone nya dengan volume yang dipasang full. Biasanya
Riri akan langsung protes karena berisik, kali ini Riri hanya memandang ke arah
Cumi sebentar ketika suara itu terdengar lalu melanjutkan lagi melihat-lihat
majalah.
Cumi akhirnya tidak tahan dengan
sikap Riri yang dirasa aneh itu.
“Kamu kenapa sih? Marah sama
aku?”
“Nggak, kenapa memangnya aku?”
“Lha itu tadi, ditanya jawabnya
singkat-singkat gitu, aku juga dicuekin dari tadi. Kenapa sih?”
“Nggak kenapa-kenapa kok.” Riri
menjawab tanpa melihat ke arah Cumi
“Aku tuh ya, ke sini pengen
ngobrol sama kamu. Bukan dicuekin gitu, capek-capek pulang kerja langsung ke
sini kepengen ketemu kamu, kangen sama kamu, tapi malah dicuekin gitu apaan
sih.”
“Ya udah, makan aja dulu yuk.”
“Jawab dulu, kamu kenapa? Ehh kita mau makan di mana?”
“Hahahhaha….kamu tuh ya Cumi.”
Riri akhirnya tidak tahan lagi untuk menahan tawanya, dicubitnya perut Cumi.
Kekasihnya itu selain jutek, galak, tapi juga doyan makan.
“Kok ketawa sih, aku kan laper.”
“Makan di rumah aja ya, itu sudah
aku siapin.”
Riri mengajak Cumi ke ruang
makan. Di meja makan sudah tersaji beberapa masakan.
“Cumii…inget nggak, hari ini
tanggal berapa?”
“Tanggal dua, kenapa memangnya?”
“haduhh…Cumi sayang, sekarang kan
hari ulang tahunmu, aku siapin ini buat kamu.”
“Emang ulang tahunku hari ini
ya?” Riri mengangguk lalu menyerahkan kadonya.
“Sebelum dibuka kadonya, berdoa
dulu buat ulang tahunmu kali ini. Lalu tiup lilinnya.” Riri mengangkat satu
cupcake yang juga disiapkannya.
“Sebenarnya aku nggak suka sama
ulang tahun, ini mengingatkan aku kalau aku semakin tua, tapi makasih ya.” Cumi
lalu menutup matanya sejenak untuk berdoa lalu meniup lilinnya.
“Selamat ualang tahun ya Cumiku
sayang.” Cumi lalu memeluk Riri dengan erat.
“Buka dong kadonya.”
Cumi membuka bungkusan berwarna
coklat itu.
“Kok serem ?”
“Hahahaha…kenapa Mi? Itu kaya
kalau kamu lagi marahin aku kaya gitu mukanya, nyeremin.”
“Aku kan nggak seserem ini.”
Riri menghadiahi Cumi sebuah
patung primitif. Patung itu berbentuk seperti seorang lelaki yang sedang jongkok
dengan membawa sebuah tongkat. Patung berwarna hitam itu sengaja dipilih Riri
untuk kadonya.
“Meskipun kamu berubah jadi
seserem dan sehitam itu tiap kali kamu marah, tapi di mataku kamu tetep seperti
bintang yang bersinar di malam hari kok Mi.”
Cumi yang digombali Riri,
wajahnya berubah menjadi merah. Riri yang tidak tahan karena ekpresi cumi yang
bikin gemes, lalu mencubit pipinya.
“Sudah boleh makan belum?”
“Iya, yuk makan.”
“Ini kenapa kita makannya pakai
lilin, kan nggak mati lampu?”
Riri menghela napas mendapati
kekasihnya yang tidak romantis itu.
“Kenapa kalau pakai lilin?”
“Boros aja, kan lagi nggak mati
lampu, bisa disimpan buat besok kalau mati lampu lilinnya. Oh iya, aku nggak
suka ya kamu kaya tadi, ditanya jawabnya singkat-singkat gitu, terus aku
dicuekin gitu. Besok-besok nggak boleh kaya gitu lagi.”
“Iyaa Cumi ku…makan dulu gih.
Nanti lagi ngomelnya.
Sekitar pukul setengah sembilan,
Cumi pamit pulang. Riri mengantarnya sampai depan. Satu jam berselang, ada satu
pesan masuk di handphone Riri
“Makasih ya, kamu sudah inget
sama ulang tahunku. Makasih juga buat makan malamnya, enak banget. Kamu tidur
yang nyenyak ya.”
“Iya kamu juga . I love you”
“iya.”
Riri hanya bisa menepok jidat
ketika pesannya hanya dibalas dengan satu kata “Iya”.
Ciiyeeehhh ngegombal :))
BalasHapushahahahaha :D sekali-kali dioonk
BalasHapusMbok yao yang Awal Dari Semua panjang kayak gini... Kan udah asyik bisa jadi lebih asyiiik...
BalasHapusehhh baru liat komennya tangteh
Hapuswkwkwkwk itu segitu sudah pas takarannya tangteh...opo timbanganku sik error ya -,-a
keren mbak, ceritanya mengalir banget.
BalasHapussuka,suka,
hehhehe...
Hapusmakasih mbak sudah berkunjung ^^