Sabtu, 21 Februari 2015

[Meltrick Icetic] Melangkah Menuju Mu



ilustrasi : di sini

Dengan langkah seribu Riri menuju salah satu Angkringan yang populer di kota ini. Angkringan Kang Harjo, perutnya sudah keroncongan. Kegiatan di kampus hari ini membuatnya melewatkan makan siangnya. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Angkringan itu sudah ramai.


Teh hangat, dua bungkus nasi kucing, sate endog dan dua mendoan sudah di depan mata. Tiba-tiba saja, ada lelaki yang memanggil namanya.

“Ri..kamu kok di sini?” Riri mendongakkan kepalanya, didapati seorang lelaki yang cukup tinggi dengan jaket hitam berdiri di dekatnya.
“Lohh..Mas Esa? Di sini juga? Iya aku kelaperan hehehe, makanya mampir ke sini dulu sebelum pulang.”
Esa hanya mengangguk sambil membulatkan bibirnya, “Boleh duduk sini?”
“Boleh, mau minta foto dan tanda tangan juga nggak ?” Riri nyengir
Esa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sama siapa Mas? Langsung dari Solo ya, kok bawaanya tas ransel gede gitu.” Riri menunjuk ransel yang digendong Esa.
“Iya, kamu sendiri aja, nggak sama Diana?”
Riri menggeleng sambil menyuap nasi kucingnya.

Mereka berbincang, lebih tepatnya Riri yang bercerita dan Esa lebih banyak mendengar, sesekali menimpali. Tempat itu semakin malam semakin ramai.
Sekitar satu jam mereka bersama di tempat itu, Riri melongok ke jam di tangan kirinya.
“Aduh dah malam, aku pulang duluan ya Mas.” Riri menggendong tas yang ia taruh di sampingnya.
“Eh, Ri..”
“Ya..” Riri yang tadinya sudah berdiri kembali duduk. “Kenapa Mas?”
Esa yang tadi menunduk kini memandang ke arah mata Riri, diam untuk sekian detik, Riri mengangkat alisnya karena bingung.
“Kenapa Mas Esa?” diulang pertanyaannya tadi.
“Yang dulu itu aku minta maaf ya.”
“Ya ampun, itu sudah kejadian sebulan yang lalu, aku sudah maafin dari dulu Mas, santai aja.” Riri tersenyum sambil mengangkat bahu.
“Makasih.”

Riri melangkah ke arah gerobak untuk membayar makanan yang sudah dilahapnya tadi. Sementara Esa masih menghabiskan empat bungkus nasi kucingnya. Sekembali dari membayar, Riri menghampiri Esa lagi.
“Ohh iya Mas lupa..”
“Apa?” Esa terlihat penasaran
“Itu empat bungkus nggak kurang?” Riri mengendikkan bahunya memasang muka serius
“Ehh..nggak kok.” Wajah Esa memerah
Riri tertawa melihat ekpresi wajah Esa.
“Aku duluan ya Mas.” Esa mengangguk.

Dilihatnya perempuan yang malam itu berbalut jaket warna biru donker menuju parkiran motor. Esa tersenyum sendiri lalu melanjutkan makannya.
*8*
Riri segera menghamburkan badannya di tempat tidur. Kegiatan kampus hari ini benar-benar menguras tenaganya. Dilihatnya langit-langit kamarnya, lalu teringat wajah Esa yang memerah karena diledeknya tadi di Angkringan. Diraihnya tas yang ia sandarkan di tempat tidur, untuk mencari handphonenya.

“Di, tebak aku tadi ketemu siapa?”
“Emang siapa?” suara Diana terdengar jelas di seberang telephone.
“Mas Esa…si cowo nyebelin yang songong itu. Tadi nggak sengaja ketemu di Angkringan Kang Harjo, jadilah ngobrol bentar di sana.”
“Terus?”
“Arrghh…cute deh mukanya pas aku ledekin karena dia ambil empat bungkus nasi kucing..hahaha.”
“Kamu itu, nggak kapok apa sama kejadian waktu itu? Terus apa reaksinya?”
“Mukanya merah malu-malu gitu. Ahh penasaran aku sama dia.”
“Dih, pendiam dan ketus gitu omongannya, kamu penasaran sama orang kaya gitu?”
“Yee kamu itu, kita kan belum kenal jauh dia itu kaya apa orangnya. Siapa tahu itu pendiam emang bawaan dari lahir. Udah ah, aku ngantuk..bye.

Klik
*8*
Seminggu berlalu, Esa setiap akhir pekan pulang ke Yogya. Jum’at malam, ia sengaja pergi ke Angkringan Kang Harjo. Sudah satu jam dia di sana, beberapa kali mendongakkan kepala ke arah parkiran, melihat jam di tangan kanannya. Menunggu seseorang?
Sudah segelas es teh dihabiskannya. Sengaja belum mengambil makanan. Tangan Esa kemudian merogoh handphone di saku jaketnya.
“Hai Ri..lagi apa?”
“Eh Mas Esa, ini baru pulang dari toko buku. Ada apa Mas?”
“Kamu nggak ke Angkringan Kang Harjo lagi?”
“Nggak..kenapa? Mas Esa lagi makan di situ?”
“Iya, tadi kebetulan mampir. Udah dulu ya”

Klik

Riri terheran begitu telephone diputus. “Ini orang aneh. Telephone cuma nanya soal angkringan.”

*8*

Pertemuan yang tidak disengaja terjadi di toko buku. Siang itu, hari kamis, Riri yang sengaja mampir toko buku langganannya untuk mencari buku yang ditunggu-tunggunya.
“Eh Mas Esa, ketemu lagi..” sapa Riri setelah melihat Esa yang sedang melihat-lihat majalah
“Kamu? Di sini juga?” Riri mengangguk
“Cari apa Ri?”
“Nih..buat refreshing otak, biar ga sepaneng.” Riri menunjukkan sebuah buku dengan sampul warna shocking pink.
“Ohh..” Esa mengangguk sambil membulatkan bibirnya. “Masih mau cari buku lain?”
Tetiba Riri memegang perutnya, dengan ekpresi wajah yang tiba-tiba berubah.
“Kamu nggak papa Ri?”
“Enggak, cuma asam lambungku sepertinya kambuh.”
“Kamu telat makan pasti?” suara Esa sedikit meninggi

Riri tidak menghiraukan Esa, dia berdiri setengah jongkok menahan sakitnya. Esa kemudian menariknya untuk duduk di tempat duduk di dalam toko buku itu.
“Aku nggak apa-apa kok, sudah aku masih harus cari buku satu lagi.”

Esa tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mengambil buku yang dipegang Riri, dia berjalan menuju kasir. Tiga menit kemudian dia kembali. “Sisanya bisa dicari besok, ayo aku bantu kamu pulang.” Ekpresi wajahnya masih dingin semenjak melihat Riri kesakitan. Esa membantu Riri berjalan menuju ke parkiran.
“Motormu yang mana?” Riri menunjuk motor yang di parkir paling ujung.
“Kita ke apotek dulu, baru aku antar kamu pulang.”
“Lohh nanti motor Mas gimana?”
“Gampang, ayo buruan naik.”
“Dari apotek kita cari tempat makan aja deh Mas.”
Esa mengangguk mantap. “Mau makan dimana?”
“Emm..yang searah jalan pulang aja deh, ke Idola mau nggak?”
“Boleh aja, lama juga nggak ke sana.”

Akhirnya Riri dan Esa menuju tempat makan di jalan Taman Siswa setelah mampir ke apotek terlebih dulu. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Hanya seputaran kegiatan kampus.
“Gimana skripsinya Mas Esa?”
“Doain aja bulan depan wisuda.” Riri mengacungkan dua jempol dengan wajah tersenyum, lesung pipi nya menambah manis wajahnya.
Esa memandang Riri yang sibuk mengaduk-aduk the hangatnya. “Kita dah lama ya nggak ketemu ?”
“Ehh..” Riri mengangkat dagunya. “Kayaknya sudah beberapa bulan ya Mas? Terakhir kali pas di Angkringan apa ya kalau nggak salah? “ Riri menerawang mencoba mengingat.
“Sepertinya.”
“Mas Esa sudah bebas dong ya, tinggal nunggu wisuda aja. Rencana mau cari kerja dimana?”
“Belum tahu , kemarin ada tawaran di Kalimantan. Tapi belum aku jawab.”
“Wihh keren tuh Mas.”
“Tapi bakal jauh….” Kalimat Esa terhenti dipandangnya lekat-lekat perempuan yang di depannya itu.
“Apa tadi? Bakal jauh maksudnya gimana?”
“Dah buruan abisin tuh makannya. Orang makan itu jangan nunggu asam lambung naik dulu.”
“Iya deh iya. Galak amat jadi orang.”

Esa menggeleng, lalu membuang pandangannya ke arah lain. Riri ikut diam menikmati mie yang masih setengah.  
“Aduh..” Riri tiba-tiba meringis sambil memegang perutnya lagi.
“Kenapa? Masih sakit ya? Kita ke klinik atau rumah sakit aja ya.” Wajah Esa berubah serius dan khawatir.

Melihat Esa yang sudah berdiri seraya mengambil tas miliknya sendiri dan milik Riri, Riri justru nyengir tersenyum, “Aku nggak papa kok, Mas panik-an jadi orang ya?”
“Maksud kamu?”
“Aku becanda barusan..he.”
“Nggak lucu.” Esa kembali duduk dan membuang pandangannya dari Riri. Diam.

Matahari semakin condong ke barat, pertemuan itu pun berakhir dengan lambaian tangan Riri. Esa mengantarnya sampai rumah lalu kembali ke toko buku untuk mengambil motornya yang masih ditinggalnya di sana.

“Apa maksudnya tadi dia bilang bakal jauh ya?”
Riri menghempaskan badannya di tempat tidur.


























10 komentar: