ilustrasi : halaman untuk Te
Té datang ke rumah ku malam ini. Dia tersenyum ketika aku
menyapanya di depan pintu. Senyum yang aku tahu sedikit dia paksakan. Dia
memilih duduk di teras malam ini, aku pergi ke dalam untuk membuatkannya teh.
Udara cukup dingin karena gerimis sedari maghrib tadi.
Aku suguhkan teh manis hangat
untuk dia, aku taruh di meja sebelah kirinya. Dia masih diam, memandang bunga
di pojok teras rumahku.
“Kau baik-baik saja Té?”
“Apakah wajahku sudah terlihat
baik-baik saja? Jika iya, syukurlah. Aku tidak mau kau melihatku tidak
baik-baik saja.”
Aku tahu, Té ke rumahku karena ada sesuatu,
dia selalu seperti itu. Semacam ada luka menganga di dada, itu yang Té rasakan malam ini. Matanya kini
tertuju pada layar handphone di tangan kanannya. Sementara hujan di luar
semakin deras. Dilihatnya satu foto di handphonenya. Lelaki, yang hampir
setahun ini mengisi hari-harinya. Kekasihnya? Suaminya? Bukan. Té menyeruput teh
buatanku.
Lelaki itu tidak sengaja
dikenalnya, ramah, suka humor, Té
merasa nyaman ketika ngobrol dengannya. Mereka tidak pernah kehabisan topik untuk
ngobrol. Dari situlah kedekatan mereka bermula.
Akan tetapi akhir-akhir ini Té merasakan ada yang berubah dengan
lelaki itu. Dia menjadi pendiam. Té
mengira semua itu karena dia sibuk. Dulu hampir setiap hari Té dan lelaki itu bertemu di tempat
favorit mereka. Berbagi cerita selama seharian atau berbagi canda. Té selalu menceritakannya padaku. Setiap
malam, dia selalu menuliskan panjang lebar. Memaksaku membacanya meski aku
ngantuk berat.
Tempat favorit itu kini jarang
mereka kunjungi, sama-sama sibuk. Itu yang Té ceritakan padaku beberapa hari yang lalu. Hingga suatu hari Té mendapati suatu hal yang tidak
diketahuinya selama ini. Lelaki itu telah bersama perempuan lain. Té menyadari bahwa selama ini hanya
dia yang memiliki perasaan itu. Hanya dia yang menyemi harapan itu. Hanya dia
sendiri yang merasakannya. Canda tawa itu Té artikan lebih. Tidak dengan lelaki itu.
“Apa yang akan kau lakukan?”
tanyaku memecah kediaman kami sedari tadi
“Aku hanya perlu membaca halaman
ini sampai selesai, lalu membaliknya. Dan melanjutkan hingga halaman terakhir.”
Itu yang Té katakan
padaku malam ini. Di luar masih hujan. Té kembali menyeruput tehnya.
“Yakin lah Té halaman yang kau buka sekarang pasti
bisa kau selesaikan.”
“Halaman yang aku buka ini memang pait, tapi
kau sediakan teh manis hangat sebagai penawarnya. Kelak jika aku temui halaman
pait lagi, aku pasti akan ke sini lagi. Memintamu membuatkan teh manis seperti malam
ini. Tapi, aku harap bukan karena halaman pait saja kaki ini membawaku ke rumahmu
ini.”
Té memutar-mutar cangkir putih itu. Teh yang aku suguhkan tinggal
setengah.
“Lalu bagaimana dengan tempat itu, apakah kau akan tetap ke sana?”
“Kenapa tidak? Aku cukup beruntung di halaman ini.”
“Apa maksudmu?”
“Karena dia tidak tahu apa yang
aku rasakan padanya. Bukankah itu suatu keberuntungan?”
“Bukankah lebih baik jika dia
tahu perasaanmu?”
“Tidak, di halaman ini aku justru
beruntung karena dia tidak tahu tentang semua yang aku rasakan. Itu membuat aku
dan dia tidak canggung ke depannya. Coba kau bayangkan, jika dia tahu, aku dan
dia pasti akan merasa aneh, canggung satu sama lain. Tapi di halaman yang aku
buka ini, aku bisa menyembunyikan dan sedikit demi sedikit melunturkan rasa
canggung itu. Membuatnya menjadi biasa.”
Cangkir itu masih
diputar-putarnya, teh di dalamnya aku tebak sudah dingin. Sudah tiga puluh
menit sejak aku menuangkannya.
“Akan kau apakan perasaan itu Té?”
“Kau pasti tahu jawabannya, aku perempuan, kau perempuan. Dan di sana
juga ada perempuan. Aku hanya perlu melakukan apa yang seharusnya aku lakukan.
Hidup ini bukankah ada sebuah hukum sebab akibat? Tentu aku tidak mau
menanggung akibat di kemudian dari sesuatu yang aku sebabkan sendiri di hari
ini.”
Aku hanya mengangguk, tanda dukunganku untuk keputusan yang diambilnya.
Aku kenal Té sudah lama,
tetapi masih ada bagian yang tidak aku pahami dari dia. Bukankah seumur hidup pun
kita tidak akan mampu memahami seseorang seratus persen?
Té berdiri mengambil tas yang dia taruh di kursi sebelah kananku.
“Tidak kau habiskan dulu tehnya?”
“Tidak, aku lupa memberitahumu tadi. Seharusnya kau tadi menyeduhkan
hanya setengah cangkir saja.”
“Kenapa?”
“Bukankah baru dinamakan hidup jika ada manis dan pait?”
“Apa kau membencinya Té ?”
Té menggeleng lalu melangkah pergi, gerimis masih bersisa. Malam kian
larut, aku masih termenung memandangi cangkir milik Té tadi.
Seperti berdiri di tempat yang
tidak seharusnya. Té akhirnya
memilih mundur. Mengobati sendiri sakit hatinya. Sakit hati yang dibuatnya
sendiri. Karena dia sendiri yang memilih untuk menumbuhkan harapannya. Lagi, satu halaman dari hidup Té telah terlewati. Dia hanya butuh
membuka halaman-halaman selanjutnya hingga nanti dia sampai di halaman terakhir.
Hadir Jeng setelah lama merindukanmu.....jiaaah
BalasHapusSeperti biasa.....sweet meski pahit...
ehh makasih bu'e sudah mampir ke sini.
BalasHapushihihi bitter sweet ;)
Salam kenal mbak, cerpennya mengingatkan saya waktu jaman muda dulu he he he
BalasHapusBtw kapan2 main mbak ke lapak saya di ibufabina.blogspot.com
Bisa pesen teh manis kok wk wk wk
salam kenal ibu ^^ terima kasih sudah berkunjung ke lapak saya.
BalasHapuswaahhhh iya kah cerita ini bisa buat nostalgia ya..hehehehe
teh manis sama pisang goreng ya bu :)
Simple tapi keren ...
BalasHapusKapan kapan mampir yuk ke blog saya
www.syiffacerpen.blogspot.com
Terima kasih mbak Syiffa atas kunjungannya ^^
BalasHapus