Kamis, 05 Februari 2015

Selembar Halaman untuk Té

ilustrasi : halaman untuk Te

Té datang ke rumah ku malam ini. Dia tersenyum ketika aku menyapanya di depan pintu. Senyum yang aku tahu sedikit dia paksakan. Dia memilih duduk di teras malam ini, aku pergi ke dalam untuk membuatkannya teh. Udara cukup dingin karena gerimis sedari maghrib tadi.


Aku suguhkan teh manis hangat untuk dia, aku taruh di meja sebelah kirinya. Dia masih diam, memandang bunga di pojok teras rumahku.

“Kau baik-baik saja Té?”
“Apakah wajahku sudah terlihat baik-baik saja? Jika iya, syukurlah. Aku tidak mau kau melihatku tidak baik-baik saja.”

Aku tahu, Té ke rumahku karena ada sesuatu, dia selalu seperti itu. Semacam ada luka menganga di dada, itu yang Té rasakan malam ini. Matanya kini tertuju pada layar handphone di tangan kanannya. Sementara hujan di luar semakin deras. Dilihatnya satu foto di handphonenya. Lelaki, yang hampir setahun ini mengisi hari-harinya. Kekasihnya? Suaminya? Bukan. Té menyeruput teh buatanku.

Lelaki itu tidak sengaja dikenalnya, ramah, suka humor, Té merasa nyaman ketika ngobrol dengannya. Mereka tidak pernah kehabisan topik untuk ngobrol. Dari situlah kedekatan mereka bermula.

Akan tetapi akhir-akhir ini Té merasakan ada yang berubah dengan lelaki itu. Dia menjadi pendiam. Té mengira semua itu karena dia sibuk. Dulu hampir setiap hari Té dan lelaki itu bertemu di tempat favorit mereka. Berbagi cerita selama seharian atau berbagi canda. Té selalu menceritakannya padaku. Setiap malam, dia selalu menuliskan panjang lebar. Memaksaku membacanya meski aku ngantuk berat.

Tempat favorit itu kini jarang mereka kunjungi, sama-sama sibuk. Itu yang Té ceritakan padaku beberapa hari yang lalu. Hingga suatu hari Té mendapati suatu hal yang tidak diketahuinya selama ini. Lelaki itu telah bersama perempuan lain. Té menyadari bahwa selama ini hanya dia yang memiliki perasaan itu. Hanya dia yang menyemi harapan itu. Hanya dia sendiri yang merasakannya. Canda tawa itu Té artikan lebih. Tidak dengan lelaki itu.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku memecah kediaman kami sedari tadi
“Aku hanya perlu membaca halaman ini sampai selesai, lalu membaliknya. Dan melanjutkan hingga halaman terakhir.” Itu yang katakan padaku malam ini. Di luar masih hujan. kembali menyeruput tehnya.
“Yakin lah Té halaman yang kau buka sekarang pasti bisa kau selesaikan.”
 “Halaman yang aku buka ini memang pait, tapi kau sediakan teh manis hangat sebagai penawarnya. Kelak jika aku temui halaman pait lagi, aku pasti akan ke sini lagi. Memintamu membuatkan teh manis seperti malam ini. Tapi, aku harap bukan karena halaman pait saja kaki ini membawaku ke rumahmu ini.”

Té memutar-mutar cangkir putih itu. Teh yang aku suguhkan tinggal setengah.

“Lalu bagaimana dengan tempat itu, apakah kau akan tetap ke sana?”
“Kenapa tidak? Aku cukup beruntung di halaman ini.”
“Apa maksudmu?”
“Karena dia tidak tahu apa yang aku rasakan padanya. Bukankah itu suatu keberuntungan?”
“Bukankah lebih baik jika dia tahu perasaanmu?”
“Tidak, di halaman ini aku justru beruntung karena dia tidak tahu tentang semua yang aku rasakan. Itu membuat aku dan dia tidak canggung ke depannya. Coba kau bayangkan, jika dia tahu, aku dan dia pasti akan merasa aneh, canggung satu sama lain. Tapi di halaman yang aku buka ini, aku bisa menyembunyikan dan sedikit demi sedikit melunturkan rasa canggung itu. Membuatnya menjadi biasa.”

Cangkir itu masih diputar-putarnya, teh di dalamnya aku tebak sudah dingin. Sudah tiga puluh menit sejak aku menuangkannya.

“Akan kau apakan perasaan itu Té?”
“Kau pasti tahu jawabannya, aku perempuan, kau perempuan. Dan di sana juga ada perempuan. Aku hanya perlu melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Hidup ini bukankah ada sebuah hukum sebab akibat? Tentu aku tidak mau menanggung akibat di kemudian dari sesuatu yang aku sebabkan sendiri di hari ini.”

Aku hanya mengangguk, tanda dukunganku untuk keputusan yang diambilnya. Aku kenal Té sudah lama, tetapi masih ada bagian yang tidak aku pahami dari dia. Bukankah seumur hidup pun kita tidak akan mampu memahami seseorang seratus persen?

Té berdiri mengambil tas yang dia taruh di kursi sebelah kananku.

“Tidak kau habiskan dulu tehnya?”
“Tidak, aku lupa memberitahumu tadi. Seharusnya kau tadi menyeduhkan hanya setengah cangkir saja.”
“Kenapa?”
“Bukankah baru dinamakan hidup jika ada manis dan pait?”
“Apa kau membencinya  ?”

Té menggeleng lalu melangkah pergi, gerimis masih bersisa. Malam kian larut, aku masih termenung memandangi cangkir milik Té tadi.

Seperti berdiri di tempat yang tidak seharusnya. Té akhirnya memilih mundur. Mengobati sendiri sakit hatinya. Sakit hati yang dibuatnya sendiri. Karena dia sendiri yang memilih untuk menumbuhkan harapannya. Lagi,  satu halaman dari hidup Té telah terlewati. Dia hanya butuh membuka halaman-halaman selanjutnya hingga nanti dia sampai di halaman terakhir. 

6 komentar:

  1. Hadir Jeng setelah lama merindukanmu.....jiaaah
    Seperti biasa.....sweet meski pahit...

    BalasHapus
  2. ehh makasih bu'e sudah mampir ke sini.
    hihihi bitter sweet ;)

    BalasHapus
  3. Salam kenal mbak, cerpennya mengingatkan saya waktu jaman muda dulu he he he
    Btw kapan2 main mbak ke lapak saya di ibufabina.blogspot.com
    Bisa pesen teh manis kok wk wk wk

    BalasHapus
  4. salam kenal ibu ^^ terima kasih sudah berkunjung ke lapak saya.
    waahhhh iya kah cerita ini bisa buat nostalgia ya..hehehehe

    teh manis sama pisang goreng ya bu :)

    BalasHapus
  5. Simple tapi keren ...
    Kapan kapan mampir yuk ke blog saya
    www.syiffacerpen.blogspot.com

    BalasHapus
  6. Terima kasih mbak Syiffa atas kunjungannya ^^

    BalasHapus