ilustrasi : topeng
Selamat pagi. Hari
Senin, artinya harus semangat full untuk lima hari ke depan. Kesibukan akan
menjauhkanku dari rasa sepi. Di sela menyelesaikan pekerjaan yang membuat
ngos-ngosan karena selalu dikejar deadline, aku menyempatkan menyapa
teman-temanku di social media. Social media adalah salah satu caraku
untuk “kabur” sebentar dari deadline yang mencekik itu.
Pagi ini, ada tiga
orang yang mengirim permintaan pertemanan. Ketiganya lelaki. Entah apa yang
membuatku hanya meng approve satu nama saja. Mahendra Ramadhan. Ya, itu nama yang
tertera sebagai nama akunnya.
Awalnya aku tertarik
dengan foto covernya. Senja. Pemandangan senja yang diambil dari pegunungan.
Cantik. Itulah awal dari semua. Entah suatu kebetulan atau apa, cover fotoku
pun pemandangan senja. Hanya saja fotoku berlatar senja di pantai. Dari situ
lah aku tahu bahwa kau juga menyukai pemandangan senja. Hal pertama yang aku tahu selain namamu.
Komunikasi intens
antara aku dan kau membuatku kecanduan. Kecanduan untuk beradu argument
denganmu. Bertukar pikiran denganmu. Pemikiranmu tentang suatu hal selalu mampu
memberikan gambaran dan sudut pandang baru untukku. Tidak ada yang salah dan
tidak ada yang benar. Aku hanya mengemukakan pendapatku begitu juga kau. Aku
suka komunikasi seperti ini. Satu hal lagi yang aku ketahui, ternyata kita lahir
di bulan dan tahun yang sama, September 1989. Unik ya, suatu kebetulan kah ini?
Entahlah.
Tanpa kau tahu, aku
selalu menunggu sapamu setiap harinya. Kadang kala ada sesuatu hal yang tidak
kita sadari kehadirannya. Cinta. Ya, mungkin itu yang aku rasakan sekarang. Gila.
Mungkin benar, ini bukan dunia nyata. Aku bahkan belum melihat seperti apa
wajahmu yang sebenarnya, di akunmu? Tidak ada satupun fotomu di sana.
Apakah aku memang gila?
Tidak. Aku tidak gila, aku jatuh cinta dengan kau, yang aku belum tahu
wajahnya, karena aku sudah sampai di titik nyaman itu. Aku tidak tahu kapan aku
sampai di titik itu. Semua obrolanmu, semua pandanganmu, semua pemikiranmu,
semua tutur kata yang pernah kau tuliskan, dari semua itulah aku nyaman.
Memasuki bulan ketiga
sejak aku mengenalmu. Kau mengirim satu pesan. Kau menuliskan selama mengenalku
yang hanya lewat social media ini,
kau merasa ada sesuatu yang membuatmu nyaman. Akan tetapi kau takut jatuh cinta
kepadaku jikalau aku tidak memiliki perasaan yang sama denganmu. Sakit hati. Alasan
itu yang membuatmu lebih memilih untuk menganggapku sebagai sahabat. Ah andai
kau tahu seperti apa perasaanku. Akunmu deactive setelah pengakuan itu.
***
Pagi di awal September,
satu pesan muncul di inboxku. Ternyata berisi foto kue ulang tahun dengan lilin
angka dua puluh lima di atasnya. Kau muncul lagi, tepat di ulang tahunku? Doa
ku ternyata dikabulkan. Mendapat kado foto kue ulang tahun dan doa
darimu, kau tahu? Aku sangat bahagia.
Kemunculanmu ternyata
hanya sementara, kau memilih untuk kembali menghilang dengan alasan mencari
ketenangan dan kenyamanan. Akunmu kembali deactive. Bahkan sebelum hari ulang
tahunmu. Andai kau tahu, aku sudah menyiapkan kado untuk ulang tahunmu. Lalu
bagaimana dengan kado itu? rasa rinduku
?
***
Tiba- tiba kau muncul
lagi. Mengejutkan. Kau bilang akan ke kotaku ? Kau memintaku untuk menjemputmu
di stasiun. Bagaimana aku bisa mengenalimu sementara wajahmu aku tidak tahu. Kau
menolak memberi no HPmu. Kau hanya bilang, “jika
kita ditakdirkan bersama, hati kita yang akan menuntun kita untuk bertemu”.
Aku berdiri bersandar
tembok, memandang ke arah pintu keluar. Pengeras di stasiun memberitahukan
bahwa kereta dari kotamu telah tiba.
Memandang setiap lelaki yang melewati pintu itu. Menebak-nebak, cemas
yang manakah dirimu. Hingga akhirnya,aku melihat seorang lelaki dengan badan tidak terlalu
gemuk juga tidak kurus, dengan jaket warna merah, topi hitam dan menggendong ransel . Seketika itu
jantungku berdetak lebih cepat.
Lelaki itu berjalan
mendekati ku, apakah ini kau? Lelaki itu tersenyum padaku. “Assalamualaikum
mbak.” DEGG… panggilan itu. Apa itu kau? Apa yang di depanku sekarang ini benar-benar kamu?. Lidah ku seperti kaku untuk
menjawab salammu.
“Assalamualaikum mbak …kok diem aja?” kau mengulanginya sambil tersenyum
“Wa’alaikumsalam…Mas
Adhan?” aku ragu menyebut namamu.
“bukan..….”
“ehh..maaf saya pikir
orang yang saya tunggu.”
“Kita masih lama mau
berdiri di sini ? aku sudah tidak sabar bertemu ayahmu.”
“Ehh..maksudnya?
ayahku? Jadi kamu?”
“ Kau pikir untuk apa
aku ke sini? Aku ingin bertemu ayahmu.”
“Maksudku untuk apa
bertemu dengan ayahku?”
Kau mencubit pipi kananku.
“Tentu saja untuk melamarmu.
Ketenangan dan kenyamanan yang aku cari sudah aku temukan. Dia ada di depanku
sekarang, aku tidak mau orang lain lebih cepat dariku.”
Mendengar jawabanmu
tanpa terasa ada air hangat yang meluncur menuruni kedua pipiku. Aku dilamar,
dan itu kau?
***
“Hati mampu menuntun
kita, sehingga kita bisa bertemu. Bertemu jodoh kita”
“Meskipun sebelumnya
kita belum pernah bertatap muka.”
Apik......emang nggak harus pakai rupa. Bisa pakai apa aja. Namanya juga rasa
BalasHapusApa kamar Jeng.....main2 ke rumah baruku ya....
makasih bu'e...
BalasHapuskabar baik, bu'e semoga juga begitu ya..
siap!!