Sabtu, 14 Februari 2015

Ketika Rasa Datang tanpa Rupa

ilustrasi : topeng

Selamat pagi. Hari Senin, artinya harus semangat full untuk lima hari ke depan. Kesibukan akan menjauhkanku dari rasa sepi. Di sela menyelesaikan pekerjaan yang membuat ngos-ngosan karena selalu dikejar deadline, aku menyempatkan menyapa teman-temanku di social media. Social media adalah salah satu caraku untuk “kabur” sebentar dari deadline yang mencekik itu.

Pagi ini, ada tiga orang yang mengirim permintaan pertemanan. Ketiganya lelaki. Entah apa yang membuatku hanya meng approve satu nama saja. Mahendra Ramadhan. Ya, itu nama yang tertera sebagai nama akunnya.

Awalnya aku tertarik dengan foto covernya. Senja. Pemandangan senja yang diambil dari pegunungan. Cantik. Itulah awal dari semua. Entah suatu kebetulan atau apa, cover fotoku pun pemandangan senja. Hanya saja fotoku berlatar senja di pantai. Dari situ lah aku tahu bahwa kau juga menyukai pemandangan senja.  Hal pertama yang aku tahu selain namamu.

Komunikasi intens antara aku dan kau membuatku kecanduan. Kecanduan untuk beradu argument denganmu. Bertukar pikiran denganmu. Pemikiranmu tentang suatu hal selalu mampu memberikan gambaran dan sudut pandang baru untukku. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Aku hanya mengemukakan pendapatku begitu juga kau. Aku suka komunikasi seperti ini. Satu hal lagi yang aku ketahui, ternyata kita lahir di bulan dan tahun yang sama, September 1989. Unik ya, suatu kebetulan kah ini? Entahlah.

Tanpa kau tahu, aku selalu menunggu sapamu setiap harinya. Kadang kala ada sesuatu hal yang tidak kita sadari kehadirannya. Cinta. Ya, mungkin itu yang aku rasakan sekarang. Gila. Mungkin benar, ini bukan dunia nyata. Aku bahkan belum melihat seperti apa wajahmu yang sebenarnya, di akunmu? Tidak ada satupun fotomu di sana.

Apakah aku memang gila? Tidak. Aku tidak gila, aku jatuh cinta dengan kau, yang aku belum tahu wajahnya, karena aku sudah sampai di titik nyaman itu. Aku tidak tahu kapan aku sampai di titik itu. Semua obrolanmu, semua pandanganmu, semua pemikiranmu, semua tutur kata yang pernah kau tuliskan, dari semua itulah aku nyaman.

Memasuki bulan ketiga sejak aku mengenalmu. Kau mengirim satu pesan. Kau menuliskan selama mengenalku yang hanya lewat social media ini, kau merasa ada sesuatu yang membuatmu nyaman. Akan tetapi kau takut jatuh cinta kepadaku jikalau aku tidak memiliki perasaan yang sama denganmu. Sakit hati. Alasan itu yang membuatmu lebih memilih untuk menganggapku sebagai sahabat. Ah andai kau tahu seperti apa perasaanku. Akunmu deactive setelah pengakuan itu.  

***

Pagi di awal September, satu pesan muncul di inboxku. Ternyata berisi foto kue ulang tahun dengan lilin angka dua puluh lima di atasnya. Kau muncul lagi, tepat di ulang tahunku? Doa ku  ternyata dikabulkan.  Mendapat kado foto kue ulang tahun dan doa darimu, kau tahu? Aku sangat bahagia.
Kemunculanmu ternyata hanya sementara, kau memilih untuk kembali menghilang dengan alasan mencari ketenangan dan kenyamanan. Akunmu kembali deactive. Bahkan sebelum hari ulang tahunmu. Andai kau tahu, aku sudah menyiapkan kado untuk ulang tahunmu. Lalu bagaimana dengan kado itu?  rasa rinduku ?

***

Tiba- tiba kau muncul lagi. Mengejutkan. Kau bilang akan ke kotaku ? Kau memintaku untuk menjemputmu di stasiun. Bagaimana aku bisa mengenalimu sementara wajahmu aku tidak tahu. Kau menolak memberi no HPmu. Kau hanya bilang, “jika kita ditakdirkan bersama, hati kita yang akan menuntun kita untuk bertemu”.

Aku berdiri bersandar tembok, memandang ke arah pintu keluar. Pengeras di stasiun memberitahukan bahwa kereta dari kotamu telah tiba.  Memandang setiap lelaki yang melewati pintu itu. Menebak-nebak, cemas yang manakah dirimu. Hingga akhirnya,aku melihat  seorang lelaki dengan badan tidak terlalu gemuk juga tidak kurus, dengan jaket warna merah, topi  hitam dan menggendong ransel . Seketika itu jantungku berdetak lebih cepat.

Lelaki itu berjalan mendekati ku, apakah ini kau? Lelaki itu tersenyum padaku. “Assalamualaikum mbak.” DEGG… panggilan itu. Apa itu kau? Apa yang di depanku sekarang ini benar-benar kamu?. Lidah ku seperti kaku untuk menjawab salammu.
“Assalamualaikum mbak …kok diem aja?” kau mengulanginya sambil tersenyum
“Wa’alaikumsalam…Mas Adhan?” aku ragu  menyebut namamu.
“bukan..….”
“ehh..maaf saya pikir orang yang saya tunggu.” 
“Kita masih lama mau berdiri di sini ? aku sudah tidak sabar bertemu ayahmu.”
“Ehh..maksudnya? ayahku? Jadi kamu?”
“ Kau pikir untuk apa aku ke sini? Aku ingin bertemu ayahmu.”
“Maksudku untuk apa bertemu dengan ayahku?”

Kau mencubit pipi kananku.

“Tentu saja untuk melamarmu. Ketenangan dan kenyamanan yang aku cari sudah aku temukan. Dia ada di depanku sekarang, aku tidak mau orang lain lebih cepat dariku.”
Mendengar jawabanmu tanpa terasa ada air hangat yang meluncur menuruni kedua pipiku. Aku dilamar, dan itu kau?

***

“Hati mampu menuntun kita, sehingga kita bisa bertemu. Bertemu jodoh kita”
“Meskipun sebelumnya kita belum pernah bertatap muka.”


2 komentar:

  1. Apik......emang nggak harus pakai rupa. Bisa pakai apa aja. Namanya juga rasa
    Apa kamar Jeng.....main2 ke rumah baruku ya....

    BalasHapus
  2. makasih bu'e...

    kabar baik, bu'e semoga juga begitu ya..

    siap!!

    BalasHapus