Rabu, 28 Januari 2015

Co Card



Pamungkas
Aku melihat lagi perempuan itu . Sudah tiga hari aku tidak melihatnya. Mungkin dia tidak setiap hari ke kampus. Hari ini, dia memakai jeans hitam dengan blouse warna tosca dengan motif kotak-kotak. Rambutnya dia ikat. Tetap saja cantik walaupun wajahnya tanpa polesan make up seperti perempuan yang ada di kanan kiriku sekarang. Dia duduk di kursi nomer 4 dari depan, di dekat kaca. Beberapa kali mengotak-atik handphonenya. 

Danika
Lagi-lagi pengamen yang sama dengan hari kemarin. Lelaki dengan temannya itu selalu naik dari lampu merah dekat SMK 2. Aku asyik dengan handphoneku ketika dia mulai bernyanyi. Dia berdiri bersender di kursi yang tidak jauh dengan kursi tempatku duduk. Menurutku, suaranya cukup enak didengar. Nada dan petikan gitarnya juga pas. Dia menyanyikan lagu yang aku tidak tahu penyanyinya siapa dan judulnya apa. Tapi aku pernah mendengar lagu itu. Dalam hati bertanya “Apa ini pekerjaan yang bisa dia lakukan? Apa tidak ada hal lain yang lebih menghasilkan ?”

Pamungkas
Aku mulai menyanyikan sebuah lagu, kali ini aku memilih lagu Sandiwara Cinta milik Republik. Sesekali aku memandang ke arahnya. Aku berjalan dari belakang ke depan. Kondisi bus pagi ini tidak begitu penuh. Aku hanya berjarak satu kursi dengannya. Dia masih sibuk dengan handphonenya. Sepertinya dia tidak begitu memperhatikan kehadiranku, juga nyanyianku. Dido, temenku mulai mengedarkan kantong plastik bekas bungkus permen. Tidak semua penumpang sudi “membayar” suara pas-pas an ku ini. Perempuan itu berdiri, lalu berjalan menuju pintu depan, halte tempat nya turun, juga aku, tinggal seratus meter lagi.

Danika
Aku memasukkan uang kertas seribuan ke kantong plastik bungkus permen yang diedarkan pengamen itu tadi. Tidak setiap pengamen aku beri. Aku pilih yang suaranya cukup enak di telingaku. Dan pengamen ini salah satunya. Aku bersiap turun dari bus, sepertinya pengamen itu juga akan turun di tempat yang sama denganku.

Pamungkas
Aku turun dari bus setelah perempuan itu turun. Aku berjalan tepat di belakangnya. Wangi. Parfumnya wangi. Aromanya lembut, tidak terlalu menusuk hidung. Entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat ketika berjalan di belakangnya. Di seberang sana kah kampusnya? Ah, iya siapa namanya? Aku tidak tahu. Kenapa juga hatiku berdegup seperti ini? Hal itu tentulah tidak mungkin. Terlalu jauh untuk aku jangkau. Siapa aku ?

Danika
Benar saja, pengamen itu turun di halte yang sama denganku. Dua orang itu turun setelah aku. Tepat di belakangku. Aku sempat takut menyadari mereka berjalan di belakangku. Bukan mau berpikiran negative. Tapi kerasnya kota ini mengakibatkan kejahatan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Aku berjalan lebih cepat karena halte tempatku turun pun sepi. Aku memilih naik angkot kali ini walaupun jarak antara halte dan gerbang kampusku hanya selemparan batu.

Pamungkas
Aku menunggu Dido langsung  duduk begitu turun, menghitung hasil “bayaran” menjual suaraku yang pas-pas-an di bus tadi. Perempuan itu berjalan seakan terburu-buru, seperti terakhir aku melihatnya. Tiba-tiba aku melihat ada suatu benda jatuh dari tas nya. Aku segera berlari mengambil benda itu. Ternyata sebuah kertas warna biru dengan tali warna serupa, di atasnya tertulis “Danika”. Mungkin ini sebuah tanda pengenal. Aku berusaha mengejarnya, siapa tahu ini barang yang penting untukknya, tapi sayang, dia terlanjur naik angkot. Danika ternyata namanya.

Danika
Hari ini, aku akan mengikuti sebuah seminar di kampus. Aku bergegas menuju gedung serba guna yang berada di sebelah gedung kuliahku. Seminar ini seminar nasional, akan dihadiri oleh salah satu pengusaha sukses negeri ini sebagai pembicaranya. Aku segera menuju meja presensi. Bermaksud menunjukkan id card sebagai bukti bahwa aku memang sudah mendaftar sebelumnya. Sial, entah pergi kemana id card itu. Aku yakin sudah memasukkannya ke tas sebelum berangkat tadi. Beruntung aku tetap bisa masuk dengan menunjukkan bukti pembayaran pendaftaran ke panitia.

Pamungkas
“Lumayan Mung, padahal bus tadi sepi.” kata Dido sambil memasukkan uang ke kantong celana kumalnya. Kami pun menyetop bus lain untuk terus mencari rupiah- demi rupiah selanjutnya. Hari masih cukup panjang. Lagi, aku pun mulai menjual suara pas-pas an ku di dalam bus. Kertas biru tadi aku masukkan ke kantong belakang. Mungkin aku bisa kembalikan esok pada perempuan itu. Esok? Mungkinkah aku akan bertemu lagi dengannya?


*8*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar